Ilustrasi/ Foto:iStock
Ilustrasi/ Foto:iStock
KOMENTAR

MANGAN ora mangan sing penting kumpul, artinya, makan tidak makan yang penting berkumpul. Ada yang mengkritik filosofi Jawa ini, “Sudah tahu tidak ada makanan malah kumpul, cari dong!” Padahal filosofi tersebut mengandung ajaran luhur tentang semangat kekeluargaan.

Kalau soal tidak adanya makanan, ya tidak perlu diajar, karena siapapun secara alamiah akan mencari makanan, hewan pun akan melakukan sesuai nalurinya.

Jadi, filosofi itu menghamparkan betapa cerdasnya orang Jawa dalam menggali hikmah kehidupan. Dan filosofi di atas makin menarik apabila dipahami petikan kisah hidup Nabi Muhammad berikut ini.

Hannad menceritakan kepada kami, Waki’ memberitahukan kepada kami, dari Thalhah bin Yahya, dari Aisyah binti Thalhah (bibinya), dari Ummul Mukminin Aisyah, dia mengatakan, suatu hari Rasulullah Saw. menemuiku, kemudian bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau lantas berkata, “Aku berpuasa.” (HR. Tirmidi)

Adakah raja atau penguasa yang dapur rumahnya tidak ada makanan? Ah, dalam mimpi paling buruk pun hal itu tidak akan pernah terjadi. Alam pikiran kita terbiasa memaklumi kalau raja, kaisar, sultan dan pejabat atau penguasa apapun hidupnya selalu enak.

Jangankan mengalami kejadian tidak ada makanan di dapur, bahkan dapur saja mereka tidak perlu mengetahuinya. Para penguasa hanya tahu di meja makan mewahnya selalu terhidang makanan lezat. Titik.

Tetapi, duhai Saudara-saudara! Junjungan yang paling kita cintai justru mengalami situasi tidak ada makanan di dapurnya, bukan sekali dua kali melainkan berkali-kali kejadian memilukan itu menimpa.

Lalu apakah status pria yang di rumahnya tidak ada makanan itu? Beliau adalah nabi akhir aman yang bergelar habibullah atau kekasih Allah. Apapun yang dipintanya pasti dikabulkan Tuhan, tetapi saat makanan tidak ada beliau tidak memintanya.

Beliau adalah raja diraja, penguasa bumi timur dan barat, harta ghanimah berupa perhiasan, emas atau perak datang kepadanya seperti tsunami, namun beliau menyumbangkannya sampai habis, dan merelakan dapurnya kosong melompong. Kalau yang kita pakai standar Rasulullah, akan sulit menemukan orang yang bersedia atau kuat menjadi pemimpin.

Apabila urusannya sudah dengan makanan, maka pertanyaan akan lebih sering ditujukan kepada istri. Karenanya, menjelang putrinya menikah, biasanya ibu-ibu akan menasehati putrinya jangan sampai suami kelaparan, sebab orang lapar gampang meledak amarahnya.

Nasehat ibu-ibu itu ada benarnya. Namun jika menilik kisah Rasulullah, justru beliau tidak pernah marah berkaitan dengan makanan. Terjangan rasa lapar tidak membuat kemampuan beliau mengendalikan emosi menjadi pupus. Bahkan kemuliaan istrinya tidak perlu dicederai hanya gara-gara urusan perut. Mana pernah Nabi Muhammad mengomeli, “Bagaimana sih jadi istri, sekali dua kali wajar, tapi berulang kali tidak ada makanan itu namanya keterlaluan.”

Tidak!

Kata-kata menusuk hati itu tidak akan pernah keluar dari bibir lelaki berhati mulia. Karena tiadanya makanan pada istri berkolerasi erat dengan nafkah dari suami, situasi ekonomi dan berbagai persoalan lainnya. Alangkah memprihatinkan bila ada suami yang mengamuk pada istrinya karena tidak mendapati makanan, sementara dirinya tidak memberikan nafkah yang mencukupi.

Salah satu nilai keteladanan dari kisah dalam rumah tangga Rasulullah itu adalah gambaran tentang kekuatan beliau dalam membangun energi positif. Situasi tanpa makanan memang menyakitkan, tetapi bukanlah menjadi penghalang dari kesempatan membangun energi diri.

Selalu ada jalan keluar dari setiap persoalan pelik yang melanda rumah tangga.
Lalu apa gunanya energi positif itu? Jelas sekali ia amat berguna dalam rangka meloloskan keluarga dari jeratan masalah sembako itu. Energi suami istri tidak terkuras dalam pertengkaran, malahan muncul energi yang berlipat ganda dalam aura yang positif untuk mengatasinya.

Siapapun tidak dapat menerka pasti apa yang akan terjadi di masa depan, boleh jadi krisis itu demikian hebatnya sehingga dapur kosong melompong. Situasi macam itu memang buruk, tetapi jangan diperburuk dengan pertengkaran. Karena rumah tangga Rasulullah pun mengalaminya berkali-kali, jadi kesombongan macam apa yang kita pamerkan kalau sampai emosionil dalam menghapai persoalan begini. Mari ikuti pedoman dari Rasulullah, sembari mencari solusi kita dulang dulu pahala berpuasa.

Dari kejadian rumah tangga Rasulullah ini, akan keterlaluan bila kita tidak mampu mengajak seluruh anggota keluarga mensyukuri rezeki dari Ilahi. Sesederhana apapun menu yang terhidang di rumah, itu jauh lebih baik kondisinya dibanding keluarga Rasulullah yang secara total tanpa makanan.

Kata orang, lebih baik berkelahi dengan manusia dari pada berkelahi dengan cacing di perut. Maksudnya, kekerasan pun akan ditempuh kalau urusannya sudah dengan perut. Tetapi, tidak demikian halnya dengan Nabi Muhammad. Beliau malah semakin meninggikan kemuliaan istrinya dengan tiadanya makanan.

Bahkan pada kesempatan lain hanya sebutir kurma yang tersedia di rumah, satu-satunya harapan itu pun disedekahkan Aisyah kepada seorang ibu bersama dua putrinya yang kelaparan. Rasulullah tidak mengecam istrinya, tetapi memberikan kabar gembira tentang surga.

Intinya, makan itu untuk hidup, tapi hidup bukan untuk makan. Dengan makan kita bisa meneruskan kehidupan, tetapi kehidupan ini bukan perkara makan semata. Kalau hidupnya hanya untuk makan, nantinya bisa berkembang menjadi aksi saling memakan sesama manusia.
 
Kembali kepada filosofi Jawa tadi, maka setelah mempelajari kisah Rasulullah ini kita dapat menaikkan level dengan meneladani Rasulullah, ketika istri tidak punya makanan maka suami bisa mengajak berpuasa. Alih-alih bertengkar, suami istri malahan mendapatkan surga.

 




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur