KITA mungkin kerap terbangun di pagi hari dengan setumpuk pikiran yang mengganggu. Tak heran jika hal pertama yang terbersit di benak kita saat membuka mata adalah “apa target pekerjaan saya hari ini?”.
Tak ayal, jam demi jam berlalu dengan sangat cepat. Mengerjakan A, disambung B, berlanjut ke C. Pergi menemui si A, kemudian menghadiri rapat bersama si B. Begitu seterusnya. Seolah pekerjaan kita tak pernah ada habisnya. Dan kita baru bisa berpikir sedikit lebih ‘bebas’ saat akan naik ke tempat tidur di penghujung malam.
Ditambah lagi, rasa galau dan gelisah yang rasanya tak kunjung usai. Entah mengapa, kita merasa selalu saja harus melalui dilema. Rasanya otak dipaksa berpikir keras untuk bisa menentukan apakah memilih A atau memilih B. Kita seperti didera kebingungan yagn berkepanjangan. Sehingga kita kesulitan untuk menikmati setiap momen yang ada di hadapan kita.
Kita merasa 24 jam tidak pernah cukup. Otak kita seolah tak bisa beristirahat. Kita pun menjadi abai terhadap sesama. Tidak tahu tetangga kesusahan. Tidak mau memelihara apalagi memperluas silaturahim karena dihantui kesibukan dan kegelisahan sepanjang waktu. Kita bahkan hampir tak bisa menikmati matahari karena siang hari pasti dilalui dengan setumpuk pekerjaan.
Ada apa dengan kita? Apa yang salah dengan kita? Bukankah kita tak pernah alpa mendirikan salat? Mengapa ujian seperti tak kunjung menjauh dari hari-hari kita? Bukankah kita tak pernah meninggalkan salat? Meski kita memang terlalu sering melakukannya di ujung waktu, dengan terburu-buru, karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan ruang meeting.
Sahabat, kita bisa merenungi hadis Nabi berikut ini.
Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa bangun di pagi hari namun hanya dunia yang dipikirkannya, hingga ia seolah tidak melihat hak Allah padanya, Allah akan tanamkan empat penyakit di hatinya: kebingungan yang tidak terputus, kesibukan yang tidak berujung, kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan keinginan yang tidak tercapai." (HR. Thabrani)
Pantaslah jika demikian yang dikatakan Rasul. Itulah jawaban atas kegundahan yang seolah selalu menempel di hati dan benak kita. Karena kita tak lagi memprioritaskan Allah dalam hidup kita. Jika kita tak bisa memprioritaskan Allah, apakah pantas meminta Allah memprioritaskan kita? Ketika Allah menjadi nomor dua atau bahkan nomor lima, bagaimana mungkin kita berharap rahmah-Nya akan masih tercurah untuk kita?
Kita harus mengubah mindset bahwa “menjalani hari ini” bukan semata mementingkan urusan dunia dan mengabaikan hak Allah terhadap kita, hamba-Nya. Allah memiliki hak untuk kita prioritaskan. Allah punya hak untuk berada dekat dengan kita. Allah punya hak atas waktu kita di dunia, dalam bentuk ibadah, dzikir dan doa. Allah memiliki hak atas pikiran dan perasaaan kita untuk menegakkan ajaran Islam di muka bumi.
Kita harus ingat bahwa napas yang kita hembuskan adalah hak Allah untuk mengaturnya. Kapan ia mencabutnya, itu hak prerogatif Allah. Pun demikian dengan akal dan kecerdasan yang kita banggakan. Semua itu menjadi milik kita semata karena kasih sayang Allah kepada kita.
Ketika kita tidak memprioritaskan Allah dalam hidup ini, bagaimana mungkin Allah akan melimpahkan kasih sayang-Nya kepada kita? Ketika kita lebih memilih menyibukkan diri dengan urusan dunia, sedangkan dunia adalah fatamorgana, bukankah wajar bagi Allah membuat kita kebingungan dan kehilangan arah? Karena kita memilih jalan yang fana, bukan jalan abadi yang pasti akan kita tempuh setelah kita menghembuskan napas terakhir.
Kita sudah memahami bahwa siapa memilih akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus. Lalu, apalagi yang masih memberatkan hati kita untuk memprioritaskan Allah? Masihkah kita betah untuk menjalani hari yang penuh dengan kesibukan tiada henti dan kegundahan tak bertepi?
Kita butuh menangis. Kita butuh airmata yang mengalir disertai ketakutan dan kesadaran bahwa apa yang kita jalani selama ini adalah sebuah kesalahan besar. Kita harus mengakui bahwa kita harus berubah. Kita harus mengubah kebuntuan otak kita agar kembali bisa mengingat hakikat kehidupan manusia untuk mengabdi kepada Penciptanya.
Saatnya melembutkan hati. Saatnya mengingat kembali kuasa Allah. Kita hanyalah hamba. Sekali lagi, kita hanyalah hamba yang harus memenuhi hak Sang Pencipta atas kita.
Bismillah, sahabat…lepaskanlah satu demi satu ikatan duniawi yang melilit tubuh kita. Katakanlah dengan segenap hati, “Aku ingin menjadi hamba yang lebih baik. Aku ingin mendekat pada Allah lebih erat lagi. Aku ingin Allah menerangi jalanku. Aku ingin Allah membimbing langkahku. Aku ingin Allah menjagaku dari keputusan-keputusan yang salah. Aku ingin Allah melindungiku. Aku ingin Allah melihatku tersenyum.” Laa hawla wa laa quwwata illaa billaahi.
KOMENTAR ANDA