Nancy Margried (Blackxperience)
Nancy Margried (Blackxperience)
KOMENTAR

TRANSFORMASI digital membawa pengaruh besar bagi kehidupan, terhadap keberlangsungan tradisi dan budaya Indonesia. Arus globalisasi serta tren yang terus berkembang tanpa henti perlahan mengikis nilai-nilai budaya tradisional seperti batik dan tenun.

Namun, Nancy Margried membuktikan bahwa kemajuan teknologi dan warisan budaya dapat bertumbuh beriringan. Dengan memanfaatkan teknologi perangkat lunak, Nancy melahirkan inovasi yang menjembatani tradisi dan ilmu komputer berupa sebuah software untuk merancang motif batik dan tenun—Batik Fractal dan Digital Tenun Nusantara (DITENUN).

Batik Fractal dan perangkat lunak jBatik dikembangkan oleh perusahaan Piksel Indonesia, yang didirikan oleh Nancy Margried, Muhammad Lukman, dan Yun Hariadi

Terobosan baru dalam memanfaatkan perkembangan teknologi yang berhasil diaplikasikan pada Batik Fractal mengantarkan ketiga pendiri Piksel Indonesia ini ke 10th Generative Art International Conference, Milan Italia, pada 2007. Berkat inovasi ini pula, Nancy Margried tercatat dalam daftar 40 under 40 ASEAN yaitu penghargaan yang diberikan kepada 40 orang di bawah usia 40 tahun yang paling berpengaruh di ASEAN. 

Berangkat dari kekhawatiran pelestarian batik yang semakin meredup, Batik Fractal mencoba mengintegrasikan teknologi dengan tradisi membatik. Hal ini jadi tombak awal untuk mensinergikan para pembatik tradisional agar bisa tersentuh dengan dunia digital dan teknologi.

Perjalanannya dimulai ketika mereka mencoba membuat berbagai motif batik menggunakan aplikasi matematika. Setelah melalui beberapa percobaan, Nancy bersama timnya akhirnya memantapkan tekad untuk mengembangkan perangkat lunak khusus yang dapat menghasilkan motif batik melalui algoritma matematika.

Untuk memperkuat program itu, Nancy melakukan riset mendalam tentang hubungan antara matematika dan batik.

Berdasarkan hasil riset tersebut, Batik Fractal kemudian memanfaatkan rumus fractal untuk merancang motif-motif batik. Fractal sendiri merupakan cabang ilmu matematika yang mempelajari kesamaan dan pengulangan pola, di mana suatu bentuk dapat memiliki struktur serupa pada berbagai tingkat perbesaran. Dengan prinsip itu, konsep fractal sangat berkaitan dengan pola berulang yang menjadi ciri khas dalam batik.

Nancy juga menelusuri akar budaya batik melalui berbagai literatur, yang kemudian didokumentasikan dan didigitalisasi sebagai data masukan bagi perangkat lunak Batik Fractal dan DITENUN.

Tak berhenti di situ, Nancy mempelajari seluruh proses pembuatan batik, mulai dari perancangan motif hingga menjadi kain. Ia bahkan terjun langsung ke berbagai sentra batik dan tenun di sejumlah daerah untuk memahami prosesnya secara menyeluruh.

Perjalanan memperkenalkan teknologi baru kepada dunia batik tidak selalu berjalan mulus. Di tahun-tahun awal, Nancy dan tim harus berjuang keras agar perangkat lunak yang mereka kembangkan bisa diterima oleh para pembatik tradisional.

Saat pertama kali mengenalkan inovasi ini kepada para pengrajin batik, respons yang muncul beragam. Sebagian menyambut dengan antusias, melihat teknologi ini sebagai peluang untuk memajukan industri batik. Namun, tidak sedikit pula yang menentang. Kekhawatiran muncul, terutama dari generasi pembatik yang lebih tua, bahwa teknologi justru akan menggantikan peran manusia di balik setiap goresan canting.

Nancy memahami kekhawatiran itu. Tetapi baginya, teknologi bukan ancaman, melainkan alat untuk memperkaya tradisi. “Padahal, justru mereka dibekali keterampilan baru—keterampilan digital untuk membuat batik semakin kaya,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Berlawanan dengan kekhawatiran para pembatik generasi tua, kisah inspiratif justru datang dari generasi muda yang memanfaatkan Batik Fractal untuk mengembangkan usaha warisan keluarga mereka.

“Kami pernah berbincang dengan salah satu anak pembatik, generasi ketiga. Dia lebih tertarik bermusik ketimbang membatik, dia tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya. Namun, setelah belajar software, ini dia jadi semangat, karena dia berhasil menciptakan batik yang sangat kental dengan gayanya—modern, sudah menggunakan teknologi. Kebetulan dia jurusan multimedia. Akhirnya dia melanjutkan bisnis keluarga dengan gaya & caranya sendiri.”

Sejak 2007, Batik Fractal telah berjejaring dengan lebih dari 4.500 perajin di seluruh Indonesia. “Ya, kita harapkan bertambah terus gitu ya, artinya batik dan tenun masih diminati oleh generasi muda karena masih ada yang mau belajar,” ucap Nancy.

Penggunaan perangkat lunak dalam membuat batik ini tidak serta merta digunakan tanpa pemantauan khusus akan penggunaannya. Nancy mengungkapkan bahwa timnya sudah melakukan pendampingan dan pelatihan kepada para pengrajin batik tersebut.

Bagi Nancy, Batik bukan sekadar seni, tapi juga identitas yang harus dihidupi.

“Harta karun budaya itu sebetulnya ada di rumah kita masing-masing, karena di setiap rumah pasti ada kain tradisional. Ini harus dijaga dan dikembangkan jadi jangan hanya disimpan. Dan itu harus dimanfaatkan menjadi karya-karya yang mutakhir, yang baru, yang bisa menunjukkan eksistensimu.” 




Rama Duwaji: Pesona, Peran, dan Karisma di Usia Muda

Sebelumnya

Banu Mushtaq, Suara Perempuan Muslim India yang Menggema ke Panggung Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women