KOMENTAR

PESTA demokrasi masih di tahun depan, pemilu dijadwalkan akan digelar 2024, tetapi ingar bingarnya sudah terasa sejak sekarang.

Maklum, pesta politik memang tidak berlangsung sebentar saja. Bagi mereka yang terjun di kancah politik, persiapan satu tahun ini bahkan terasa terlalu singkat.

Di tengah gemuruh tahun politik, tidak sedikit yang bersikap apatis, seolah politik tidak lagi memberi harapan bagi masa depan mereka. Di lain pihak, masih saja ada kalangan yang gamang dengan hak-hak politiknya, tidak terkecuali dari pihak perempuan.

Sungguh disayangkan apabila para muslimah tidak memahami bahwa hak-hak politik mereka sangatlah dilindungi oleh agama. Bahkan Islam menyediakan materi fiqh siyasah atau fikih politik yang sama sekali tidak melupakan hak-hak muslimah.

Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Parlemen di Negara Islam Modern Hukum Demokrasi, Pemilu, dan Golput (2016: 308) mengungkapkan:

Hakikat yang jelas adalah, Islam tidak melarang perempuan memperoleh hak-hak politik dan tidak menolak persamaan perempuan dengan laki-laki dalam hak-hak dan kewajiban ini.

Islam tidak menghalangi perempuan terjun dalam kancah politik atau melarangnya berpartisipasi dalam parlemen untuk mengusulkan undang-undang atau mengawasi pemerintahan; mulai dari kewajiban memberikan nasihat, duduk di tingkatan-tingkatan dewan pengawas dan memperoleh hak dewan permusyawaratan dalam menanyai pemerintah, atau mengadili pemerintah atau bahkan melengserkan atau memakzulkan mereka.

Tentunya pendapat Ash-Shallabi tidak muncul tiba-tiba saja, melainkan dari pemikiran mendalam terhadap kaidah fiqh siyasah, bahwa hak politik perempuan itu bukan hanya duduk di posisi tertentu tetapi juga dapat mengawasi bahkan memakzulkan pemerintahan.

Hak-hak politik perempuan yang dijamin Islam itu mulai dikumandangkan dari jazirah Arabia, ketika di antara masyarakat jahiliyah memandang kaum hawa lebih rendah dari ternak mereka. Jelas sekali betapa kerasnya perjuangan Rasulullah dalam menegakkan hak-hak politik perempuan yang diamanahkan oleh Ilahi.

Lutfi Basit dalam buku Lensa Gender di Media Massa: Meta Analisis Politisi Perempuan (2022: 48-49) menerangkan:

Begitupun hak politik perempuan di dalam Islam adalah sebuah keniscayaan. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik perempuan yaitu Qs. At-Taubah ayat 71, yang artinya:

Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Ayat tersebut menjelaskan, bahwa orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan saling mengasihi satu sama lain dalam konteks mengajak kepada hal-hal yang baik, dan saling mengingatkan untuk tidak berbuat yang tidak baik.

Kata ‘awliya’ dalam ayat tersebut di atas, mempunyai pengertian mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sementara yang dikandung oleh kata ‘amar ma'ruf’ yaitu menyuruh atau mengajak untuk berbuat kebaikan, mencakup segala hal misalnya perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat atau masukan serta kritik kepada penguasa (pemerintah).

Artinya, laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing (laki-laki atau perempuan) mampu melihat kemudian memberi saran dan masukan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.

Muslimah pun mestilah terlibat dalam amar ma’ruf nahi munkar termasuk dalam bidang politik. Arahan Al-Qur’an yang membentangkan hak-hak politik perempuan sesungguhnya berada dalam bingkai cantik, yakni menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Insya Allah, dalam bingkai ini perempuan akan berpolitik dalam nuansa yang lebih menawan.

Wasiat Al-Qur’an terkait hak-hak politik perempuan diamalkan dengan khidmat oleh Rasulullah. Musda Mulia dalam buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam (2014: 77) menjelaskan:

Fakta sejarah menunjukkan, tatkala delegasi Anshar membaiat Rasul saw. pada baiat Aqabah kedua, tercatat sejumlah perempuan. Mereka bersumpah membela dan melindungi Islam. Ini menunjukkan adanya kontribusi positif perempuan dalam kegiatan politik. Bahkan, Nabi saw. membolehkan perempuan mewakili kaum muslim, berbicara mewakili mereka dan memberikan jaminan atas nama mereka.

Hal itu terlihat nyata dalam kasus Ummu Hani. Nabi telah menerima perlindungan Ummu Hani terhadap seorang kafir pada hari penaklukan kota Mekah. Beliau berkata kepadanya, “Kami melindungi orang yang dilindungi Ummu Hani.”

Betapa konkret partisipasi politik perempuan menentukan pandangan politik mereka, meskipun terkadang pandangan itu berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka.

Baiat para perempuan pada masa-masa awal Islam sesungguhnya merupakan bukti kebebasan dan kemandirian perempuan menentukan pandangan politik mereka, meskipun terkadang pandangan itu berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka.

Mulai dari sekarang ini muslimah sebaiknya merenung-renungkan lagi hak-hak politiknya yang sudah dilindungi oleh agama Islam. Mulai ditakar sejauh mana hak-hak tersebut sudah terpenuhi, entah itu terpengaruh iklim politik yang bias gender atau memang perempuan sendiri yang kurang peduli.

Selain itu, pada setiap hak terdapat pula kewajiban untuk menunaikannya secara amanah, sebab segalanya akan dipertanggungjawabkan di mahkamah akhirat, tidak terkecuali hak-hak politik tersebut.




Betapa Berat Kafarat Jima’ Saat Berpuasa

Sebelumnya

Sahur Itu Sunnah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih