KOMENTAR

MASA boikot yang mengerikan itu sudah berlalu, tetapi masa-masa yang lebih suram justru melanda Rasulullah, yaitu ketika Abu Thalib dan Khadijah wafat.

Kepergian keduanya bukan hanya menyisakan timbunan lara, tetapi juga membuat beliau bak burung yang kehilangan dua sayapnya.

Tidak tertakar lagi pembelaan atau pengorbanan Abu Thalib dan Khadijah demi perjuangan Islam, tetapi keduanya pula yang lebih dulu dipanggil Ilahi. Ini sungguh duka yang bertabur lara.

M. Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (2018: 400) menerangkan:

Dampak pemboikotan itu menimpa, antara lain Abu Thalib, juga Khadijah, dan akhirnya mereka berdua wafat, walau kita tidak berkata bahwa pemboikotan tersebut mempercepat kehadiran ajal mereka, karena ajal tidak bisa dipercepat atau diperlambat kedatangannya.

Abu Thalib wafat pada pertengahan Syawal tahun kesepuluh kenabian dan Khadijah menyusul tiga hari kemudian. Setelah wafatnya kedua pembela utama itu, Rasul saw. mengalami aneka cobaan berupa gangguan dari kaum musyrik, yang beratnya tidak pernah beliau alami selama Abu Thalib dan Khadijah masih hidup.

Di hadapan penduduk Mekah, Abu Thalib adalah tokoh yang disegani. Sang paman ibarat benteng kokoh yang senantiasa terdepan dalam melindungi nyawa keponakannya. Abu Thalib bahkan rela ikut merasakan perihnya masa boikot sebagai bukti kecintaan terhadap Rasulullah.

Khadijah adalah perempuan terbaik yang dianugerahkan Allah Swt. demi mendampingi Nabi Muhammad. Tidak ada lagi pada dirinya dan kehidupannya yang belum dikorbankan Khadijah demi perjuangan Islam. Dialah yang pertama memeluk Islam dan membaktikan segenap harta, juga jiwa dan raganya demi agama suci.

Selama masa boikot, Khadijah menolak hidup santai bergelimang harta di rumahnya. Dia mengorbankan kekayaan demi membela suami dan kaum muslimin.

Khadijah pun turut merasakan kehidupan prihatin di pengasingan, di celah-celah bukit batu di luar Mekah. Namun, belahan hati Rasulullah itu pun dipanggil ke haribaan Ilahi.

Terdapat perbedaan hitungan sejarawan terkait jarak wafatnya dua sosok yang sangat dicintai Rasulullah ini; ada yang mengatakan Khadijah wafat dua atau tiga bulan setelah meninggalnya Abu Thalib, ada yang menyebut satu bulan lima belas hari, bahkan ada yang meyakini hanya berselang tiga hari saja.

Jarak waktu kematian tidaklah berpengaruh besar, sebab kehilangan keduanya sudah pasti menjadi ujian berat bagi psikologis Rasulullah. 

M. Quraish Shihab (2018: 408) menguraikan:

Khadijah wafat sebelum luka hati pulih dari musibah akibat wafatnya paman tercinta, yakni hanya tiga hari setelah wafatnya Abu Thalib. Khadijah wafat setelah mengisi hati dan pikiran Nabi dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Mengisinya dengan asmara istri yang bergelora dan kasih sayang, bagaikan kasih sayang ibu yang penuh pengorbanan lahir dan batin.

Sepanjang hidup Nabi Muhamad saw. pengalaman manisnya dengan istri tercinta ini tidak pernah pupus kendati sekian banyak perempuan berusaha memenuhi hati itu atau menggeser sedikit dari kenangan Khadijah dari benak beliau. 

Itulah Khadijah, Umm al-Mu'minin, manusia pertama yang menikahi Nabi Muhammad saw., bahkan manusia pertama yang memercayai kerasulan beliau.

Tidak ada informasi yang menjelasan penyakit apa yang mengakibatkan wafatnya Khadijah, tetapi pemboikotan tentu menyita kesehatan beliau, lebih-lebih usianya yang memang terbilang lanjut.

Wafatnya kedua tokoh yang berperanan besar dalam kehidupan dan perjuangan Nabi saw. dalam tahun yang sama, bahkan minggu yang sama, sepuluh tahun dari pengangkatan Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi mengantar kaum muslim menandai tahun kesepuluh dengan ‘Am al-Huzn (Tahun Kesedihan).

Kesedihan dimaksud bukan berarti Nabi saw. begitu bersedih atau kesedihan beliau berlanjut selama setahun, tetapi kesedihan dimaksud lebih banyak akibat hilangnya dua tokoh utama pendukung tersebarnya dakwah Islam, sehingga semakin besar kemungkinan tertutupnya pintu-pintu sukses dan menipisnya kesempatan bagi manusia untuk memahami dan menerimah hidayah Allah Swt.

Tidak dapat dipungkiri, Khadijah adalah anugerah terindah bagi Rasulullah. Karena apa yang dipersembahkan Khadijah benar-benar terpatri di lubuk sanubari beliau terdalam, yang kemudian menjadi kenangan yang tidak lekang oleh zaman.

Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam buku Sirah Nabawiyah (2018: 167) memaparkan:

Rasulullah saw. bersabda tentang dirinya, “Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi perempuan selainnya tidak memberikannya kepadaku.” (Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya).           

Di dalam kitab Shahih Bukhary, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Jibril mendatangi Nabi saw, seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang menemuimu sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk-pikuk dan keletihan.”

Demikianlah keagungan pribadi Khadijah, yang bukan hanya Nabi Muhammad yang memujanya, tetapi juga disanjung oleh malaikat dan dipuji oleh Tuhan. Khadijah mendapatan kehormatan berupa bingkisan salam dari Ilahi Rabbi.




Taktik Brilian Menghadang Pasukan Ahzab

Sebelumnya

Safari Dendam Kaum Yahudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Sirah Nabawiyah