Membangun brand atau merk dagang yang kuat menjadi perjuangan tersendiri bagi pelaku usaha/Net
Membangun brand atau merk dagang yang kuat menjadi perjuangan tersendiri bagi pelaku usaha/Net
KOMENTAR

MEMBANGUN usaha dengan menggunakan brand atau merek dagang sendiri merupakan perjuangan yang tidak mudah bagi pelaku usaha.

Namun, dengan kegigihan dan strategi yang tepat, hal tersebut bukan mustahil untuk dilakukan. Kunci utamanya terletak pada memahami target market atau pasar yang dituju.

"Karena konsumen bermacam-macam, ada yang beda harga seribu perak saja bisa berubah decision making-nya, ada juga konsumen yang loyal yang rela membeli walaupun harus membayar mahal atau menunggu (pre-order) dalam waktu tertentu," jelas Direktur Deka, Yanti Nisro dalam Farah ZoomTalk bertajuk "Perempuan, Dunia Riset dan Daya Juang di Lorong Kehidupan Baru" yang digelar Farah.id pada Rabu (9/9).

Menurutnya, dalam upaya membangun brand image yang kuat, produsen harus pintar-pintar membaca perilaku konsumen serta mencari strategi pemasaran atau marketing yang tepat agar bisa masuk ke target pasar yang dituju.

"Yang jelas harus tau bagaimana membidik pangsa pasar, bagaimana perilaku mereka serta bagaimana mendekati mereka dan bagaimana membuat mereka untuk tetap loyal pada produk kita," ujar Yanti.

"Di situlah pentingnya marketing, yang harus benar-benar fokus mencari tahu banyak hal mengenai konsumen mereka," paparnya.

Lebih lanjut Yanti mengambil contoh penjualan sepeda Brompton yang saat ini tengah digandrungi banyak orang di Indonesia.

"Brompton mahal, tapi orang mau antri menunggu bahkan inden berbulan-bulan. Itu berarti marketingnya jago membuat brand tersebut menjadi ditunggu-tunggu masyarakat," terang Yanti.

"Salah satu strateginya adalah, misalnya selebriti-selebriti dikasih satu (sepeda Brompton) kemudian menjadi influence bagi banyak orang sehingga muncul asumsi, wow jadi keren ya dengan Brompton." jelasnya.

Terlebih, sambung Yanti, saat ini muncul semacam "tren" yang disebut dengan sindrom FOMO di kalangan masyarakat. FOMO sendiri merupakan akronim dari Fear Of Missing Out, yang bermakna kecemasan sosial yang berasal dari keyakinan bahwa orang lain mungkin bersenang-senang sementara orang yang mengalami kecemasan itu tidak ada. Ini ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain.

"FOMO atau kondisi takut ketinggalan (dengan tren terkini) itu berhasil dimanfaatkan oleh marketing dan produsen banyak brand," kata Yanti.

Selain itu, sambungnya, kunci lain membangun brand yang kuat juga adalah dengan memiliki pembeda dari kompetitor.

"Kalau kita ada sesuatu yang unik yang orang lain tidak miliki, itu yang akan dicari konsumen. Jadi kita tidak sama dengan yang lain, tidak average," kata Yanti.

"The key is, your expertise, your uniqueless yang susah di-copy paste orang," tegasnya.




Fokus pada Segmen Ritel, Bank Mega Syariah Perluas Jangkauan Nasabah untuk Halal Lifestyle

Sebelumnya

Direksi Minimarket di Malaysia Didakwa Menghina Agama karena Menjual Kaus Kaki Bertuliskan “Allah”

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News