Bullying/Net
Bullying/Net
KOMENTAR

KETIKA orang tua, tenaga pendidik, dan tenaga profesional kesehatan mental berbicara tentang intimidasi atau bullying, perhatian cenderung fokus pada sang korban. Padahal, di sisi lain yang sebenarnya juga tidak kalah penting dan perlu mendapat perhatian adalah pelaku bullying.

"Penindasan bukanlah peristiwa satu kali atau tindakan acak dari perilaku kejam, melainkan suatu pola agresi berkelanjutan yang ditargetkan pada anak lain yang dalam beberapa hal memiliki kekuatan yang lebih kecil dalam hubungan itu," kata psikolog sekolah Rebecca Branstetter.

Dia mencatat bahwa setiap anak yang melakukan bullying memiliki akar permasalahan serta latar belakang yang berbeda-beda, namun ada benang merah yang menghubungkannya.

"Kita dapat melakukan intervensi sejak dini dan secara proaktif," kata Branstetter kepada Huffington Post.

Psikolog anak, Jillian Roberts pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, kepribadian, integritas, dan diri pribadi anak-anak masih berkembang.

"Semakin awal kita mengatasi masalah ini baik dalam penyerang dan korban, semakin banyak peluang yang kita buat untuk pertumbuhan dan penyembuhan di kedua sisi," jelasnya.

Untuk mengenal lebih dekat masalah tersebut, berikut setidaknya 10 "akar" penyebab perilaku bullying pada anak yang perlu dikenali.

1. Kurangnya empati
Anak-anak yang sering menggertak cenderung memiliki masalah dalam kesadaran diri dan kecerdasan emosi, khususnya yang berkaitan dengan empati.

"Kurangnya empati berarti bahwa mereka tidak dapat menempatkan diri pada posisi orang lain," kata penasihat kesehatan mental Kathleen Goodman.

Empati sendiri merupakan sifat kepribadian alami. Namun, hal ini bisa diajarkan serta diasah pada anak.

2. Rasa tidak aman
Seorang terapis keluarga bernama Tom Kersting menilai, ada satu hal yang dimiliki semua pelaku bullying, yakni rasa tidak aman.

"Intimidasi dan pelecehan adalah tembok yang mereka gunakan untuk mencegah orang lain melihat mereka, melihat rasa tidak aman mereka," jelasnya.

Karena itulah, menindas orang lain bisa menjadi mekanisme yang mereka gunakan untuk membantu mereka merasa lebih aman.

3. Butuh kontrol
Banyak anak-anak pelaku bullying yang berusaha mengendalikan segala sesuatu karena merasa bahwa hidup mereka di luar kendali, atau mereka merasa bahwa seseorang dapat melukai mereka jika mereka tidak memiliki kendali penuh terhadap suatu situasi.

"Mereka berusaha untuk mendominasi orang lain untuk memastikan bahwa tidak ada yang bisa bangkit dan melukai mereka," kata ahli saraf Sanam Hafeez.

Sementara itu psikolog pendidikan berlisensi Reena B. Patel menilai bahwa anak-anak yang merasa tidak disukai atau tidak didukung oleh teman sebayanya sering beralih ke tindakan intimidasi untuk mendapatkan kontrol sosial.

"Pikiran irasional mereka membuat mereka percaya bahwa mengendalikan anak-anak lain sama dengan memiliki teman," katanya.

4. Impulsif
Menurut Hafeez, anak-anak yang melakukan bullying sering memiliki kontrol impulsif yang buruk.
 
"Mereka tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan mereka pada keadaan fisik atau emosional orang lain," jelasnya.

5. Keinginan akan kekuatan dan status
Psikolog klinis John Mayer menilai bahwa anak-anak pelaku bullying sering merasakan kebutuhan akan kekuasaan dan status dalam kelompok sosial.

"Mereka memiliki kekurangan atau ketidaktahuan dalam keterampilan sosial dan menggunakan intimidasi untuk mendapatkan status dan kekuasaan karena mereka tidak memiliki cara lain untuk melakukan ini," jelasnya.

Karena itulah, bullying dapat membantu anak-anak merasa lebih kuat daripada teman sebayanya, terutama jika mereka merasa rendah diri.

6. Pengalaman masa kecil yang menyakitkan
Untuk sebagian anak pelaku bullying, perilaku mereka dipengaruhi oleh luka masa lalu. Karena itulah, adagium, "orang terluka menyakiti orang," bukan sebatas kalimat belaka.

"Sebagai psikolog sekolah, saya telah bekerja dengan banyak anak dan remaja yang terlibat dalam perilaku intimidasi. Seringkali, anak-anak ini menceritakan kepada saya kisah-kisah tentang kehidupan mereka yang akan menghancurkan hati Anda," kata Branstetter.

Dia merujuk pada sebuah penelitian baru-baru ini di Universitas Florida Selatan yang menemukan bukti bahwa perilaku intimidasi lebih umum pada anak-anak yang memiliki pengalaman hidup yang buruk, seperti pelecehan anak, penelantaran, disfungsi rumah tangga, atau kesulitan ekonomi.




Pemalu atau Social Anxiety? Yuk Kenali Tanda-Tandanya, Bunda!

Sebelumnya

Anak Slow Response Saat Diperintah, Ayah Bunda ‘Berkaca’ Dulu Sebelum Marah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting