KOMENTAR

SAYA tidak hidup di Hong Kong maka tidak secara langsung dapat mengikuti perkembangan politik di Hong Kong. Maka saya tidak berani memberi komentar tentang kemelut yang sedang terjadi di Hong Kong.

Sinofobia

Namun dari apa yang saya dengar para warga Hong Kong yang pindah ke luar negeri   menjelang berakhirnya masa sewa Inggris terhadap Hong Kong 1997 serta apa yang saya dengar dari sanak-keluarga saya yang kebetulan berdomisili di Hong Kong, saya memberanikan diri mengambil kesimpulan.

Cukup banyak warga Hong Kong secara psikososiopolitis menderita Sinofobia. Ironisnya, alasan Sinophobia justru berasal dari pengalaman positif yang dialami warga Hong Kong pada masa di bawah kekuasaan kolonialis Inggris yang berlanjut sampai batas akhir masa sewa Hong Kong oleh Inggris 1 Juli 1997.

Pada hakikatnya para warga Hong Kong kuatir mereka tidak bisa menikmati hidup di bawah kekuasaan pemerintah Republik Rakyat China senikmat seperti pada masa di bawah kekuasaan pemerintah kerajaan Inggris.

Maka mereka yang Anglofiliak (cinta serba Inggris) memilih migrasi ke wilayah negara-negara perkesemakuran Britania Raya terutama Vancouver, Kanada yang sama-sama berada di kawasan samudra Pasifik di kawasan iklim mirip Hong Kong.

Revolusi Kebudayaan

Namun ada pula yang menderita Sinofobia kaliber parbang (parah banget) akibat trauma pengalaman terpaksa menyelamatkan diri ke Hong Kong pada masa Revolusi Kebudayaan sedang melanda daratan China.

Secara pribadi jiwa-raga mereka mengalami sendiri angkara murka kebengisan  Laskar Kebudayaan China. Seorang sanak-keluarga saya yang pada masa remaja ikut hwe-kuok  alias pulang ke Tanah Leluhur  dari Indonesia ke China secara pribadi mengalami sendiri betapa kejam para pejuang Revolusi Kebudayaan China.

Sebagai seorang pianis sangat berbakat, beliau terpaksa tak berdaya melawan angkara murka para Laskar Kebudayaan China yang tega menghancurkan ke dua belah tangan beserta seluruh jari-jemarinya dengan menggunakan hantaman laras bedil.

Dengan kondisi kedua tangan beserta jari-jemarinya lumpuh akibat kekejaman Laskar Kebudayaan China, beliau melarikan diri dari Beijing ke Hong Kong.

Bukan akibat cinta Hong Kong, namun karena sudah tidak tahan hidup di Beijing.

Penyeberangan ke pulau Hong Kong dilakukan dengan bersembunyi sebagai penumpang gelap di bagasi sebuah bus.

Sebagai sesama pianis , sepenuhnya saya dapat memahfumi betapa berat derita yang harus dipikul oleh sanak-keluarga saya tersebut.

Mohon dimaafkan saya tidak bisa menyebut nama beliau yang kini masih bermukim di Hong Kong demi mencegah dampak tak diinginkan terjadi pada beliau.

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana