Warganegara asing yang mengungsi di depan kantor UNHCR di Jalan Kebon Sirih, Jakarta/RMOL
Warganegara asing yang mengungsi di depan kantor UNHCR di Jalan Kebon Sirih, Jakarta/RMOL
KOMENTAR

KANTOR Berita RMOL pada 6 Juli 2019 memberitakan bahwa seorang bayi perempuan bernama Arzo Zahara dilahirkan sebulan lalu di RS Tarakan, Jalan Kiai Caringin, Gambir, Jakarta Pusat. Kini dia dipanggil dengan sapaan Hope. Artinya, harapan.

Hope

Hanya sebentar berada di rumah sakit, Hope bersama ayah, ibu, dan kakak-kakaknya, juga ratusan pengungsi lainnya dari berbagai negara, menempati trotoar di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Di depan Masjid Ar Rayyan, Kementerian BUMN, di seberang Gedung Ravindo, tempat Komisi Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR) berkantor. Para pengungsi dari berbagai negara berada di trotoar jalan Kebon Sirih sebelum dipindahkan ke lokasi lain oleh Pemprov DKI Jakarta.

Hope menjadi satu-satunya bayi mungil yang mengungsi di jalan itu. Selain dia ada belasan atau mungkin puluhan anak-anak kecil yang ikut mengungsi dan tinggal di trotoar Jalan Kebon Sirih bersama orangtua mereka.

Mereka seakan tidak atau setidaknya belum mengerti kesulitan yang dihadapi orang tua mereka: melarikan diri dari kampung halaman, dari negeri tercinta, untuk menghindari penderitaan akibat konflik kekerasan, perang, dan kelaparan.

Berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik di tanah orang. Tetapi apa daya, di tanah pengungsian mereka hidup terlunta-lunta. Sebagian pengungsi sebelumnya tinggal di penampungan di Cisarua, Bogor.

Sebagian lainnya selama bertahun-tahun tinggal di trotoar di depan Kantor Imigrasi di Kalideres, Jakarta Barat.

Puing

Pengungsi bukan terbatas datang dari suatu negara ke negara lain. Pengungsi juga bisa datang dari dalam kota Jakarta sendiri bukan akibat perang atau kesulitan sosio-ekonomi namun akibat digusur.

Misalnya di atas puing-puing bekas gusuran di Pasar Akuarium, Luar Batang di Jakarta Utara, kami sempat menjumpai para pengungsi yang terpaksa mengungsi akibat penggusuran atas nama pembangunan demi menjadikan Jakarta kota yang layak disebut modern.

Di atas puing-puing bekas gusuran di Pasar Akuarium itu kami berjumpa dengan seorang bayi diberi nama Puing.

Penjelasan ibunda tentang kenapa bayinya diberi nama Puing sederhana saja yaitu karena Puing dilahirkan di atas puing-puing bekas reruntuhan penggusuran Pasar Akuarium.

Derita

Akibat sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi maka orangtua Puing terpaksa membangun gubuk sementara terbuat dari kardus bekas sebagai tempat berteduh sang bayi berdesakan bersama sanak-keluarganya.

Bayi yang dilahirkan di masa pengungsian bukan terbatas hanya di atas puing-puing bekas gusuran Pasar Akuarium, Luar Batang saja namun juga di Kalijodo, Bukit Duri, Sukomulyo, Kulon Progo, Tulang Bawang, Papua dan berbagai pelosok Nusantara.

Bukan cuma bayi dilahirkan namun juga para orang dewasa jatuh sakit bahkan meninggal dunia akibat tidak tahan menanggung derita lahir-batin digusur seperti yang misalnya terjadi di asrama pengungsian para rakyat tergusur di Bukit Duri.

Namun memang hanya mereka yang pernah mengalami derita digusur yang dapat merasakan betapa berat beban penderitaan lahir-batin akibat digusur atas nama pembangunan.

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana