KOMENTAR

TIGA hari sebelum berangkat ke Amerika saya ke sini. Hari terakhir puasa.

Ini pertama saya lihat. Di Indonesia. PLTU dibangun di tempat pembuangan sampah. Di Surabaya. Tepatnya di sebelah stadion sepak bola Gelora Bung Tomo (GBT).

Saya sudah pernah ke situ. Dulu. Ini seperti mengenang zaman 40 tahun lalu. Saat masih jadi wartawan. Saat teknologi penanganan sampah di situ masih disebut landfill.

Sampah dibuang di situ lalu ditumpuki tanah. Di atas tanah ditumpuki sampah lagi. Tanah lagi. Dan seterusnya.

Saya ingat cara ini, waktu itu, disebut teknologi dari Jerman. Lama-lama, mestinya, sampah dan tanah itu ambles. Menyusut. Lalu ditimbuni sampah lagi.

Memang ambles. Memang menyusut.

Tapi karena jumlah sampah yang datang sebesar Donald Trump yang lagi bengkak, maka kewalahan juga: 1.500 ton sampah baru migrasi ke situ. Setiap harinya.

Kian lama sampah di Benowo menggunung juga. Gunungnya menjadi sangat tinggi. Alat berat pun kurang bisa efektif.

Maka sampah dibuang ke blok lahan sebelahnya. Menjadi gunung lagi. Kewalahan lagi. Terbentuk lagi gunung berikutnya. Dan berikutnya.

Aroma busuknya pun mencetar membahana. Sampai ke tetangganya: stadion sepak bola. Dan 50.000 penonton Persebaya pun harus ingat lagunya Gombloh. "Kalau sudah cinta (Persebaya) tahi kucing pun rasa coklat".

Apalagi kalau angin berhembus dari sana. Ampun deh. Istri saya suka mengantongi minyak kayu putih. Terutama kalau serangan bau sampah itu datang. Hidung terus menerus diolesi Safe Care.

Bangunan baru "PLTU sampah" itu menarik perhatian saya. Seperti ada hope. Bahwa bau itu akan segera hilang.

Pun lima tahun lalu. Sebenarnya sudah pula ada pembangkit listrik di tempat sampah itu. Mirip yang di Bantar Gebang, Bekasi. Di tumpukan sampah Jakarta itu. Saya juga sudah beberapa kali ke sana. Saat menjabat Dirut PLN dulu.

Pembangkit lima tahun lalu itu jenisnya gas engine. Dua buah. Gasnya diperoleh dari tumpukan sampah itu. Gas metan.

Tapi pembangkit gas metan ini sangat kecil. Tiap unit hanya 800 KW. Total hanya 1,6 MW. Hanya cukup untuk mengaliri listrik satu hotel bintang 3.

Pembangkit gas metan ini sifatnya hanya memanfaatkan sampah. Tidak akan bisa menyelesaikan gunung sampah.

Setiap ada tambahan unit pembangkit listrik harus ditambah lagi sampahnya. Padahal yang diinginkan adalah: mengurangi sampah. Bahkan menghabiskannya.

Maka pembangunan PLTU sampah di Surabaya itu pilihan yang tepat. Di mana-mana di dunia ya seperti itu. Di kota-kota besarnya. Sampah itu dibakar.

Panasnya untuk mendidihkan air di boiler: menghasilkan uap. Uap ini dialirkan ke turbin. Diberi tekanan tertentu. Turbin berputar. Memutar generator. Menghasilkan listrik.

Sisa panas masih bisa dimanfaatkan. Jangan dibuang ke langit. Bisa untuk mengeringkan sampah yang akan masuk mulut boiler. Agar bisa cepat terbakar.

Kelemahan pembangkit seperti ini adalah: nilai kalori dari sampah itu rendah sekali. Panas api sampah kurang menggigit. Hanya 1000-1.200 kalori. Bandingkan dengan batu bara. Atau Kaliandra Merah. Yang sekitar 5.000 kalori.

Karena itu di pembangkit seperti ini boilernya harus besar. Harganya lebih mahal. Maka jangan kaget kalau membaca berita media: biaya pembangunan PLTU sampah yang hanya sebesar 10 MW ini mencapai USD 49 juta. Atau sekitar Rp 700 miliar.

Keterangan USD 49 juta itu datang dari pejabat resmi. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Diucapkan saat mengumumkan dimulainya pembangunan PLTU sampah di Benowo itu. Seperti yang saya baca di media saat itu.

Menurut beliau, proyek yang sama akan dibangun di 10 kota lainnya di Indonesia.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway