KOMENTAR

SENIN 13 Mei 2019, Kantor Berita Politik RMOL mempublikasikan naskah saya terkait tragedi Tambakrejo berjudul “Nestapa Sri Solekah”. Pada hari yang sama, koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid memaklumatkan pernyataan sikap terkait penggurusan warga Tambakrejo, Semarang sebagai berikut:

Tragedi Tambakrejo

Peristiwa penggusuran terjadi di kampung Tambakrejo Kota Semarang pada hari Kamis, 09 Mei 2019. Sebanyak bangunan-bangunan rumah hunian yang ditempati 97 kepala keluarga dirobohkan oleh pemerintah kota Semarang untuk melaksanakan normalisasi banjir kanal timur. Akibat peristiwa ini, ratusan warga kehilangan tempat tinggal.

Untuk sementara warga tinggal di kolong jembatan dan tenda-tenda darurat yang didirikan oleh para relawan. Sebelumnya, berbagai negosiasi antara pemerintah kota dan warga Tambakrejo mengalami kemandekan karena belum menemukan titik temu.

Pemerintah kota menetapkan wilayah tersebut sebagai jalur normalisasi untuk mencegah banjir yang menjadi salah satu masalah utama kota Semarang. Warga dan pemerintah kota akhirnya mendapat kesepakatan setelah dimediasi oleh Komnas HAM.

Di antara kesepakatan itu akan dibangun tempat relokasi berupa Rusunawa yang letaknya tidak jauh dari kampung Tambakrejo mengingat mata pencaharian warga sebagai nelayan. Namun sebelum dilaksanakan kesepakatan tersebut, Pemerintah Kota Semarang langsung melakukan penggusuran.

Ratusan Satpol PP dan tentara disertai dua alat berat meluluhlantakkan perkampungan seusai subuh di hari Ramadan keempat. Aparat juga melakukan kekerasan terhadap warga dan para relawan pendamping warga dengan aksi pemukulan dan penjambakan. Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Dalam perkembangan terakhir telah dilakukan upaya dialog antara antara Pemkot Semarang, Warga, dan pendamping warga. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa  Pemkot Semarang akan membangun hunian sementara (huntara) untuk 97 KK terdampak. Huntara ini akan digunakan warga sampai selesainya pembangunan rusunawa, kampung deret nelayan dibangun oleh pemkot Semarang.

Sikap

Berkenaan dengan hal tersebut, Jaringan Gusdurian menyatakan sikap: Pertama, mengecam dan menyayangkan penggusuran paksa yang dilakukan di bulan suci Ramadan oleh pemerintah kota Semarang dengan mengabaikan kesepakatan bersama antara warga, pemerintah kota dan Komnas HAM.

Kedua, mengecam segala bentuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap warga dan pendamping warga karena bertentangan dengan nilai demokrasi dan kemanusiaan. Ketiga, tindakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan tersebut juga menciderai rasa percaya warga kepada Satpol PO dan Pemerintah Kota Semarang, yang pada gilirannya membuat warga menjadi lebih sulit untuk mempercayai komitmen penyelesaian masalah ini oleh Pemkot Semarang, misalnya menerima tawaran tinggal sementara di alternatif yang disediakan.

Keempat, mendesak  Pemprov Jateng dan Komnas HAM untuk terus mengawasi kesepakatan antara Pemerintah Kota  Semarang dengan warga. Sehingga peristiwa penggusuran paksa tidak akan terjadi lagi. Kelima, mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Pemprov, Pemkot, dan warga untuk terus melakukan dialog dan  mediasi agar bisa dicapai jalan keluar bersama.

Kami meminta dilaksanakannya kesepakatan dengan segera dan sepenuhnya. Kami menyadari bahwa kebijakan untuk melakukan normalisasi sungai adalah bertujuan untuk kebaikan bersama. Karena itu kami menyayangkan jika tujuan baik ini tidak selaras dengan implementasinya.

Tujuan-tujuan pembangunan seharusnya dicapai tanpa dengan  menciderai kemanusiaan dan mengorbankan rakyat kecil yang merupakan pemilik sah negeri ini.

Untuk membantu rakyat terdampak penggusuran, Gusdurian Semarang membuka donasi untuk membantu meringankan beban warga Tambakrejo. Warga membutuhkan tenda, obat-obatan, bahan makanan, selimut, dan lain sebagainya. Donasi dalam bentuk uang bisa ditransfer ke rekening BNI Nomor Rekening 0789230312 atas nama Dewi Kandiati.

Terima Kasih

Dari lubuk sanubari terdalam, saya menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya serta penghargaan setinggi-tingginya kepada para pejuang kemanusiaan yang tergabung di Jaringan Gusdurian di bawah pimpinan putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid.

Secara nyata, laskar kemanusiaan Jaringan Gusdurian melanjutkan gelora semangat perjuangan Gus Dur yang senantiasa bahkan niscaya berpihak ke kaum tertindas.

Kalimat “Tujuan-tujuan pembangunan seharusnya dicapai tanpa dengan menciderai kemanusiaan dan mengorbankan rakyat kecil yang merupakan pemilik sah negeri ini”, pada hakikatnya selaras Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati para anggota PBB (termasuk Indonesia) sebagai pedoman pembangunan abad XXI tanpa mengorbankan alam dan rakyat serta sesuai makna adiluhur yang terkandung di dalam sila-sila Kemanusiaan Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia. MERDEKA!

Penulis adalah cantrik kerakyatan Gus Dur, murid kemanusiaan Sandyawan Sumardi serta pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana