KOMENTAR

ADA Siti Khadijah. Ada Siti Aisyah. Ada Susi Pudjiastuti. Ada Sri Mulyani. Ambil sisi baiknya, karena tak satu perempuan sempurna di muka bumi.

Selalu saja ihwal Kartini ini menjadi perbincangan hangat yang diwarnai pro dan kontra. Terlepas dari mengapa harus sosok RA Kartini yang jadi tolak ukur, kita memahami bahwa pembicaraan tentang Kartini adalah tentang semangat perempuan untuk bisa menapaki jalan yang sama dengan laki-laki.

Bagi yang menyoal ‘mengapa harus Kartini?’, mereka memandang bahwa sesungguhnya Kartini tidak dalam kondisi terbelenggu. Ia berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya, R. M. Adipati Sosroningrat, adalah Bupati Jepara. Kartini ‘hanya’ tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tapi ia tidak buta aksara. Maka banyaklah yang mempermasalahkan mengapa Habis Gelap Terbitlah Terang dianggap sebagai mercusuar perjuangan perempuan Indonesia.

Tapi ya, kembali lagi, marilah kita berpikir positif bahwa yang ingin dikenang abadi adalah semangatnya. Bagaimana ia menyuarakan pikirannya ihwal setiap manusia adalah sama, laki-laki maupun perempuan, dalam urusan menuntut ilmu dan membangun karir. Ini toh, selaras dengan ruh Islam bahwa setiap manusia sama derajatnya. Yang membedakan hanya ketakwaannya.

Rasanya tidak bijak pula jika kita berdebat mengapa harus Kartini jika ada Khadijah. Tentulah dua perempuan hebat itu tidak bisa disandingkan. Meski pada nama mereka sama-sama tersemat “RA”; Raden Ajeng dan Radiallahu ‘Anha, tentulah keduanya tidak berada pada level yang setara. Karena itulah, setiap muslimah tentu memahami siapa Khadijah, seperti apa perjuangan dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam, dan tentu saja dukungan tanpa batasnya terhadap sang suami tercinta, Nabi Muhammad saw. Sedangkan Kartini, ia menjelma menjadi perempuan hebat dalam konteks ‘kemanusiaan’ dan kepahlawanan nasional. Jelas jauh berbeda.

Sebagai muslim, tentulah Khadijah, Asma binti Abu Bakar, Aisyah, atau Khansa binti ‘Amr—ibu para syuhada sudah seharusnya menjadi suri tauladan. Meneladani keimanan dan keislaman mereka yang begitu kuat, bagaimana mereka menaati Allah dan RasulNya melebihi kecintaan terhadap dunia, juga bagaimana begitu gemarnya mereka menuntut ilmu dan menjadi perempuan cerdas.

Kritik Terhadap Kartini Masa Kini

Ndilalah, banyak perempuan masa kini yang seolah hanya mengambil nilai-nilai perjuangan Kartini tanpa mengembalikannya ke nilai-nilai Islam. Seorang perempuan hebat, diidentikkan dengan perempuan yang mampu berdiri mandiri secara ekonomi dan akrab dengan teknologi. Semua serba kekinian. Ekonomi di sini identik dengan karir mentereng: gaji dua digit yang memungkinkan traveling ke luar negeri setiap tahun, jabatan prestisius, dan network yang luas. Siapa punya karir cemerlang seolah otomatis meraih predikat Kartini Masa Kini.

 

 

Sedangkan dalam hal teknologi, sosok Kartini modern dialamatkan pada perempuan yang melek teknologi dan mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya untuk mengembangkan usaha yang dirintis secara online tapi juga untuk mengekspos kehidupan sehari-harinya. Terutama swafoto. Atau berlomba jadi menjadi YouTuber dengan jutaan suscribers, meski content yang diunggah kerap tak punya makna. Jauh berbeda dengan perempuan-perempuan peneliti dan ilmuwan yang berada di balik ‘layar’ untuk merintis penemuan berharga bagi kehidupan manusia.

Hakikat Kartini

Zaman bolehlah berubah. Tapi hakikat “Kartini” seharusnya bergeming. Tetap. Tidak rusak oleh ingar-bingar modernitas, tetap justru menjadi lebih tangguh agar tidak dikalahkan zaman. Kartini adalah simbol perempuan ideal—meskipun ideal itu sendiri bersifat subjektif.

Perempuan, sejatinya mampu memuliakan dirinya sendiri. Terlebih lagi seorang muslimah, harus selalu mencari ridha Allah dalam setiap tutur kata dan akhlaknya. Memang betul tidak ada manusia sempurna. Tapi manakala seorang perempuan menyadari fitrahnya, ia akan menjaga dirinya dari kemungkinan terseret fitnah dan kemaksiatan.

R. A. Kartini adalah sosok perempuan berhati mulia. Hidup dalam gelimang harta tidak menjadikannya sombong dan jauh dari kehidupan masyarakat awam. Ia berbaur dengan sesama tanpa pandang bulu. Ia tidak sungkan berteman dengan rakyat jelata. Dan itu dijalaninya dengan tulus. Bukan karena ia ingin menjadi wakil rakyat lalu berlomba-lomba turun ke masyarakat. Bukan karena ingin mencari simpati lalu menggelar acara peduli kaum miskin dengan kamera yang menyorot di sana-sini.

Kepedulian Kartini bukan basa-basi. Bukan topeng yang siap dikenakan saat dilihat orang. Hatinya berontak untuk menerobos ‘tembok pembatas’ yang membedakan kaum priyayi dengan kaum papa. Karena itulah kita, yang menasbihkan diri sebagai perempuan modern, tidak sepantasnya berlomba-lomba menunjukkan pada dunia betapa suksesnya kita mereguk gelimang dunia. Tanpa kita sadari, banyak mata memandang iri. Banyak hati mengutuk apa yang kita lakukan.

Jika ingin bersyukur dengan apa yang kita miliki, apakah jalannya harus selalu dengan memamerkan keberhasilan itu kepada orang lain? Tak ada salahnya kita bertanya kepada hati nurani apakah semata ingin berbagi atau lebih ingin mengatakan pada dunia bahwa yes, I can do it? Berbagi kebahagiaan boleh saja, tapi alangkah bijaknya jika ‘dibungkus’ dengan perilaku rendah hati dan kata-kata yang membuat orang memahami arti perjuangan dan kerja keras di balik kesuksesan yang kita genggam. Jangan sampai tujuan kita menginspirasi orang lain justru berbalik ‘mengintimidasi’ dengan membuat orang iri lalu su’udzan kepada kita.

Tidak hanya berhati mulia dan peduli rakyat kecil, R. A. Kartini juga ikon sosok yang berani dan optimis memerjuangkan cita-citanya. Ia seorang visioner yang memahami betapa pendidikan adalah sebuah landasan mendasar untuk perempuan dapat meningkatkan kualitas diri. Maka ia berjuang untuk mendapatkan pendidikan agar dapat meningkatkan derajat kaum perempuan. Berjuang untuk mendapatkan pendidikan tinggi agar dapat meneruskan berbagai pengetahuan tersebut kepada perempuan nusantara. Agar perempuan tak hanya jadi warga kelas dua bahkan warga kelas tiga. Demi para perempuan agar bisa mengaktualisasikan diri mereka.

Kartini menyadari bahwa tanpa pendidikan, seorang ibu tidak dapat menjadi madrasah terbaik bagi putra-putrinya. Karena itulah kita, yang mengklaim diri sebagai perempuan modern, tidak boleh berhenti belajar. Mengkaji ilmu agama, menambah wawasan pengetahuan, dan tentu saja memahami dunia teknologi informasi yang menemani hari-hari kita. Tak perlu menjadi seorang technofreak, tapi setidaknya kita mengerti nilai plus dan nilai minus berbagai platform online, termasuk media sosial. Dengan pendidikan, kita dapat beradaptasi dengan kehidupan zaman now tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang muslimah sekaligus istri dan ibu. Dengan ilmu, kita dapat menemukan solusi dari berbagai permasalahan hidup yang menghadang. Dan dengan ilmu pulalah perempuan dapat berdaya bagi lingkungan sekitarnya.

 

Kartini Negeri Pertiwi

Para istri pejabat pemerintahan di seluruh Indonesia adalah contoh Kartini masa kini yang dekat di hati masyarakat. Mereka setia menemani perjuangan para suami merintis karir politik dari bawah. Karena itu ketika mereka berhasil menjadi wali kota, bupati, atau gubernur, atau istri dari kepala pemerintahan, para perempuan hebat itu tak asing lagi untuk mendengar keluh kesah masyarakat dan menjalankan program yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan kemajuan rakyat.

Dari Pulau Sumatera hingga Pulau Papua, para istri pejabat ini tak kalah ‘memesona’ dibandingkan suami mereka dalam merebut hati rakyat dan mengubah daerah mereka ke arah yang lebih baik. Beberapa di antara mereka adalah Nevi Zuairina (istri Gubernur Sumatera Barat), Yuliana Fasha (istri Wali Kota Jambi), Atalia Praratya (istri Gubernur Jawa Barat), Yane Ardian (istri Wali Kota Bogor), dan Fery Farhati (istri Gubernur DKI Jakarta). Dari Kalimantan dan Sulawesi, ada nama Siti Wasilah (istri Wali Kota Banjarmasin), Erna Rasyid (istri Wali Kota Parepare), serta Priska Paramita (istri Bupati Gowa). juga jangan lupakan dua muslimah luar biasa dari timur Jawa: Khafifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur) dan Tri Rismaharini  (Wali Kota Surabaya).

Dan tentu saja, kita tidak bisa menutup mata dari Ibu Presiden RI Iriana Joko Widodo dan Ibu Wakil Presiden Mufidah Jusuf Kalla. Jika Iriana dikenal sebagai sosok lembut keibuan, maka Mufidah terlihat sebagai sosok yang tegas dan aktif. Keduanya, meski tampak memiliki karakter berbeda, adalah putri terbaik bangsa karena setia mendampingi dan selalu mendukung suami mengemban amanah suci rakyat. Di luar keduanya, sosok Ani Yudhoyono yang kini tengah berjuang melawan kanker darah di Singapura juga notabene seorang Kartini. Program Indonesia Sejahtera yang meliputi Indonesia hijau, Indonesia pintar, Indonesia bersih, dan Indonesia kreatif menjadi bukti bakti Ani Yudhoyono kepada rakyat.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News