KOMENTAR

INGATLAH baik-baik: politik bukan channel utama untuk mengubah publik dan berbuat kebajikan, ada channel-channel lain yang bisa Anda putar dan mainkan.

Tersebutlah nama Sultanah Safiatuddin. Nama Arab? Ya,  tapi ia bukan bangsa Arab. Itu sekadar gelar. Ia asli Indonesia; produk Nusantara dari abad 16-17,  jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Nama lahirnya Putri Sri Alam. Bila Anda belum mengenalnya, mari saya terakan barang secuil:

Putri Sri Alam adalah putri tertua Sultan Iskandar Muda, Raja Kesultanan Aceh Darussalam yang lahir pada 1612. Dialah ratu pertama perempuan yang memimpin kerajaan Islam dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Konon, pasca Raja Iskandar Muda wafat, tampuk kepemimpinan diserahkan pada Sultan Iskandar Tsani, yang tak lain adalah menantunya, yang juga suami dari Putri Sri Alam sendiri. Ajal siapa yang menduga. Ketika belum lama menjabat (hanya 5 tahun), ia meninggal dunia. Demi menghindari kekacaaun negara (lebih-lebih--perlu dicatat, pada era ini VOC Belanda mulai merangsek dan menjajah Nusantara), Putri Sri Alam mengambil alih kekuasaan lalu mengelola dengan sebaik-baiknya, dengan sepandai-pandainya. Memang, sebagian kalangan (tokoh dan ulama) di masa itu ada yang tidak berkenan atas naik tahtanya, tapi ia membuktikan dengan kerja yang bagus. Walhasil, selama 34 tahun menjabat ia menorehkan jejak gemilang dalam ranah ekonomi, agama, hukum, seni, sastra, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya.  Ia pun banyak membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.

Tentu saja, Sultanah Safiatuddin tidak sendiri. Pasca ia wafat, ada sultanah-sultanah lain. Dan itu baru pada abad 16-17 di satu kawasan di Tanah Air kita. Ada banyak perempuan hebat lain, dari masa pra dan pasca Sultanah Safiatuddin yang membuktikan diri bahwa perempuan tidak kalah capable dan canggih dalam konteks sosial-politik. Kita tahu, di zaman Nabi Sulaiman, ada Ratu Balqis a.k.a Ratu Saba' di Yaman, di zaman Rasulullah saw, ada Ummul Mukminin Siti 'Aisyah dan lain-lainnya yang bisa dijadikan role model.

Lalu, bagaimana dengan QS. An-Nisa: 34 yang berbunyi "Lelaki adalah pemimpin-pemimpin perempuan..."? Atau bagaimana juga dengan hadis Nabi yang menegaskan: "Tidak akan berjaya bila suatu kaum menyerahkan urusan mereka kepada perempuan"? (HR. Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, dan Nasa'i melalui Abu Bakrah). Salah dua dari teks naqli tersebut kerapkali dijadikan hujjah untuk tidak memperbolehkan perempuan memegang peranan secara sosial-politik.

Dalam menafsirkan teks Ilahi, khazanah Ilmu Tafsir mengetengahkan asbabul nuzul (sebab musabab turunnya suatu ayat). Hal yang sama juga dalam Ilmu Hadits, ada istilah asbabul wurud (sebab musabab turunnya sabda Nabi). Dalam QS. Nisa, ayat 34 di atas, pakar tafsir Prof. Quraish Shihab menjelaskan konteks turunnya ayat untuk urusan spesifik dan khusus, bukan urusan general atau umum, yakni perkara domestik alias rumah tangga tempat para suami memang selayaknya menjadi pemimpin rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan istri dan keluarganya. Lebih-lebih bila menelisik kelanjutan ayat secara utuh yang memang menyinggung ihwal relasi pasutri dalam rumah tangga.

Sementara, dalam hadis di atas, syahdan turun terkait problem spesifik juga, yakni terkait pengangkatan Putri Persia (Kisra) menjadi pengganti ratu. Dalam beberapa literatur disebutkan jika hadis itu turun di saat Nabi merasa ‘tersinggung’ karena surat ajakannya untuk memeluk Islam kepada Pimpinan Persia dirobek-robek. Lebih-lebih, saat itu Raja Persia tergolong pemimpin yang zalim. Dari sanalah, keluar hadis tersebut.

Menelisik kedua konteks dalil tersebut maka gugurlah hujjah untuk mempersulit perempuan muslimah yang salehah dan pandai dalam mengurus hajat orang banyak dalam sebuah wilayah, baik itu level lokal maupun nasional dalam sebuah negara.

Oleh karena itu, tak aneh juga jika organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU kemudian sama-sama menyatakan kebolehan perempuan untuk berperan dalam pentas politik.

Lebih-lebih, Allah dalam beberapa firman-Nya menegaskan ihwal perempuan dan laki-laki yang setara derajatnya di hadapan Allah (lihat QS. al-Hujurat: 13, QS. an-Nahl: 97), atau juga perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (QS. an-Nisa (4): 124, QS. an-Nahl (16): 97); dan juga perempuan dan laki-laki sama-sama diperintah untuk berbuat kebajikan (QS. at-Taubah (9): 71).

Demikianlah. Semoga, bila sekarang anda perempuan, cerdas, salehah, memiliki skill memimpin, dan berazam kuat untuk membuat perubahan lebih baik dalam sebuah komunitas atau organisasi atau lembaga, silakan "berjihad" di dunia sosial-politik. Kendati begitu, ingatlah baik-baik: politik bukan channel utama untuk mengubah publik dan berbuat kebajikan, ada channel-channel lain yang bisa anda putar dan mainkan. Apa? Hanya Anda dan Tuhan yang bisa menjawabnya. Wallahu'alam bilshawab. (F/ Berbagai sumber)




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur