KOMENTAR

TAAT kepada pemimpin adalah sikap manusia modern. Dan sikap profesionalisme itu sudah ditanamkan oleh Islam sejak dari tingkatan rumah tangga.

Setelah menjabat sebagai bupati, Bu Harum (nama samaran) justru merasa ada yang kurang beres dalam rumah tangganya, terutama dalam hubungannya dengan suami tercinta. Dulu, dia menaati suami dan ia pun merasa bahagia menjalankan perintah agama tersebut. Baginya ketaatan terhadap suami merupakan bagian dari ibadah seorang istri. Kini, Bu Harum adalah pucuk pimpinan di daerahnya dan giliran orang-orang yang menaati dirinya, tak terkecuali suaminya ikut mendapatkan tugas atau malah perintah darinya. Sekarang justru suami yang taat pada arahannya. Bahkan sekadar bertemu saja, suaminya tetap melalui prosedur biasa, tidak langsung menerobos aturan yang sudah berlaku. Singkat kata, Bu Harum merasa dunianya jadi jungkir balik.

Dia tidak pernah berharap jabatan bupati, tapi kini amanah itu telah mulai menggoyahkan sendi-sendi rumah tangganya. Sementara suaminya tenang-tenang saja. Lelaki itu belum pernah mengeluh, malah terus memberikan dukungan. Sehingga di suatu kesempatan suami istri tersebut berbincang dari hati ke hati. Bu Harum bukan lagi bicara sebagai bupati, tetapi sebagai seorang istri. Dia pun menyampaikan keresahannya atas apa yang telah berlangsung selama jabatan dipikulnya. Intinya, Bu Harum tidak mau kehilangan ridha suami, apalagi mendapat murka Allah. Dia ingin kembali ke masa-masa bahagia dulu, saat dirinya taat pada suami dan merasakan hidup yang berlimpah berkah.

Ternyata suaminya seorang lelaki berpikiran maju. Dia membenarkan apa yang telah dilakukan istrinya. Sang suami memahami posisi istri sebagai pemimpin daerah, dan pemimpin harus dipatuhi. Selagi dalam bingkai pemimpin daerah, maka suaminya adalah pihak yang mematuhi pemimpin, meski itu istrinya sendiri.

Namun dalam bingkai rumah tangga, suami adalah pemimpinnya. Suami yang bertanggung jawab dunia akhirat terhadap anak-anak dan istrinya. Nah, saat berada dalam posisi istri, Bu Harum tidak lagi bersikap sebagai bupati, ia harus profesional dengan kembali memposisikan dirinya sebagai istri yang salehah. Bu Harum lega dengan penjelasan suaminya dan menjalani kembali amanah dengan senyuman.

Memahami Keresahan

Dari kejadian di atas tergambar bahwa taat bukanlah sesuatu yang buruk. Taat untuk kebaikan merupakan salah satu ladang pahala. Namun tetap ada keresahan di kalangan perempuan, setidaknya terbetik banyak tanya di dalam hati, tatkala dihadapkan dengan pernyataan, “Istri diharuskan taat pada suami.”

Situasi makin runyam tatkala terjadi dialog atau pertengkaran suami istri. “Istri kan milik suami, dia harus taat,” kata seorang suami. Istrinya tak kalah garang, “Kapan pula kau membeli aku!”

Sejumlah perempuan terus menunda pernikahannya (bahkan akhirnya tak kunjung menikah) karena merasa ngeri dengan perintah taat itu. Mereka takut kehilangan kemerdekaan dan juga kemandirian yang susah payah diperjuangkan sepanjang hayat. Amat disayangkan bila itu semua lenyap begitu saja oleh perkawinan. Sejumlah kalangan yang menuntut emansipasi gender plus kesetaraan laki-laki dan perempuan di segala aspek dengan tegas menentang pernyataan yang dituding berat sebelah itu.

Bukan hanya kaum hawa, kalangan laki-laki pun tidak begitu nyaman mendengar istri harus taat pada suami. Bukan karena mereka ini sejenis suami takut istri, melainkan mereka mempertanyakan keadilan. Apakah perempuan harus tunduk kepada laki-laki? Apakah ketaatan hanyalah kewajiban perempuan belaka?

Seorang suami pernah mengeluh karena bingung dengan istrinya yang sangat taat. Apapun yang dikatakannya, istri patuh saja tanpa membantah bahkan tanpa berkomentar. Dia sampai berseloroh, “Andai disuruh masuk neraka pun dia akan menurut.” Istrinya dibentuk dalam keluarga yang menekankan ketaatan pada suami tanpa batas. Sementara suaminya dibina dalam keluarga demokratis. Dia biasa melihat sejak kecil ibunya berbeda pendapat dengan ayahnya, dan itu normal saja. Sang suami akhirnya beralih ke perempuan lain. Bukan tubuhnya, tapi daya tarik perempuan itu yang berani membantahnya, berani beda pendapat bahkan bertengkar. Sang suami merasa cocok karena ada tempat bertukar pikiran.

Menerima Taat

Suami istri hendaklah menjadikan Alquran sebagai pedoman dalam memahami ketaatan. Surat An-Nisa ayat 59 ayat memerintahkan kita menaati pemimpin, yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Pada ayat di atas disebutkan sebagai tanda beriman, maka kita diwajibkan taat kepada Allah, kemudian Rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin (ulil amri). Suami mendapat amanah pemimpin rumah tangga, maka ketaatan padanya merupakan bukti ketaatan atas perintah Allah. Apa bedanya? Taat pada Allah adalah ketaatan mutlak tanpa syarat, sedangkan taat pada suami ada syaratnya, yaitu selama suami berpegang pada aturan Allah dan bimbingan Rasulullah. Apabila terdapat perselisihan terhadap model kepemimpinan suami, maka merujuklah kepada Alquran dan sunah Rasul-Nya. 

Hal ini cukuplah sebagai gambaran keadilan Islam bahwa ketaatan itu bukanlah kepatuhan buta yang memposisikan perempuan di bawah laki-laki. Dan taat di sini bukanlah bermakna kepatuhan tanpa syarat. Ketaatan istri adalah bukti kepatuhannya atas perintah Tuhan. Jadi, selama suami memimpin rumah tangga selalu menaati Allah, maka selama itu pula istri menaati suami. Sekiranya suami sudah tidak taat pada Allah, maka hilang pula kewajiban taat istri padanya.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur