KOMENTAR

F: Benarkah bahwa IP hanya cocok untuk urban mom?

SPW: Saya melakukan penelitian, sebanyak 30% ibu adalah urban mom, yang tinggal di kota besar dengan akses internet, tapi tidak mau bergerak untuk pendidikan anak. 50% yang lain adalah ibu-ibu menengah ke bawah, di pinggiran kota dan desa. Saya memilih target market yang 30%. Saya ingin memberi perubahan yang cepat, hingga kelihatan ada hasil. Jika saya dari awal memilih semua ibu, tidak akan tercapai, yang ada hanya lelah. Saat membuat komunitas, saya lihat diri saya. Tinggal dimana, bergaul dengan siapa. Saya berharap, yang 30% itu akan menjadi fasilitator bagi 50% ibu lain.

F: Apa planning IP ke depan?

SPW: Meluaskan impact minimal 1 juta anggota IP. Kami mengarah online dan offline, online to offline dan kebalikannya. Sekarang kesannya IP masih sangat private. Kami sedang membangun online learning platform yang bisa diakses semua ibu, diinisiasi oleh IP.

 

F: Adakah kata terlambat untuk jadi ibu profesional?

SPW: Saat hidayah datang, itulah jalannya. Jadi tidak ada kata terlambat. Yang masuk ke IP memang mayoritas usia 21-40 tahun dengan anak usia 0-3 tahun. Ini memang hal baik, karena mereka tidak terlambat. Tapi ada juga yang sudah punya anak remaja, baru masuk IP. Memang belum ada pembelajaran khusus tentang anak remaja, tapi para ibu ini berusaha untuk berubah, agar anak-anak remaja mereka ikut berubah. Saat anak masih pra akil baligh, bonding ibu dan anak memang sangat penting agar anak bisa menjadi baik. Tapi ketika sudah remaja, ibulah yang harus berubah diiringi tirakat doa sebanyak-banyaknya. Karena perubahan itu sudah kuasa Allah Swt. Anak remaja jangan dituntut macam-macam sementara orangtuanya tidak mau belajar. Ketika ibu berubah, anak merasa nyaman.

F: Apakah gadget juga menjadi masalah bagi ibu?

SPW: Selama ibu menjadi digital immigrant, maka gawai menjadi masalah. Ibu belum paham dunia digital. Ibarat menjadi imigran, baru pindah ke dunia digital. Dari yang sebelumnya belum ada Facebook, belum ada laptop. Terkaget-kaget. Dan ibu menjadi tidak produktif. Kerjanya hanya scroll chat group atau stalking. Tahu-tahu sudah sore, anak tidak terurus. Seharusnya ibu menjadi digital native. Menyadari bahwa digital adalah bagian dari dunianya, hingga ibu memperlakukan gawai biasa-biasa saja dan digunakan secara produktif.

Di sinilah pentingnya gadget time. Bahkan kelas online IP hanya pukul 20.00-21.00. Plus fokus buka whatsapp group dan memperbaharui pengetahuan seputar dunia digital. Total hanya 2 jam. Artinya, waktu saya untuk keluarga masih ada 22 jam. Setelah itu, tinggalkan gawai. Jangan ditengak-tengok. Tidak perlu menyesal ketinggalan chat banyak. Yakin saja, jika ada yang sangat penting, pasti orang tersebut menelepon kita.

F: Bagaimana cara menasihati anak yang efektif?

SPW: Anak mau ibu hadir, melihat contoh, dan ibu harus hadir dengan utuh. Yang kurang saat ini adalah kehadiran ibu dan ayah. Mereka tidak hadir di hati anak. Ketika hadir secara fisik justru kasih nasihat dan wejangan, hingga anak-anak makin jauh. Generasi Alfa sama sekali tidak senang dengan nasihat. Mereka bisa dapat nasihat dari mana-mana. Ibu harus punya keterampilan untuk memperlihatkan bahwa ia hadir untuk anaknya. Daripada memberi nasihat, lebih bijak jika ibu menanyakan “bagaimana perasaanmu hari ini?”

F: Apakah boleh kita mengatakan, “Dulu, ibu waktu seusiamu sudah bisa melakukan ini itu sendiri…”

SPW: Yang boleh adalah membandingkan diri anak dengan dirinya sendiri. Kita bisa mengatakan, “Setahun lalu, kamu lebih rajin belajar dibandingkan sekarang. Ada apa ya? Apa yang bisa Ibu bantu?”

Tugas ibu adalah memperkuat moral character anak seperti berlaku jujur, mandiri, berakhlak baik, dan berbicara dengan sopan. Sekalipun performance character berubah, karena anak memang lahir untuk zamannya, tapi moral character akan abadi.

F: Bisakah single mom menjadi seorang ibu profesional?

SPW: Bisa, karena secara fitrah, hubungan ibu dan anak (tanpa ayah) sudah kuat. Sebaliknya, jika ibu yang meninggal lebih dulu, ayah bisa dipastikan akan segera mencari penggantinya. Ayah tidak memiliki emosi sekuat ibu dan tidak multitasking. Namun ibu bisa mencari jalan agar anak tidak kehilangan sosok ayah. Ketika ayah saya meninggal saat saya usia 8 tahun, Ibu kerap menitipkan saya ke Pakde. Ibu juga memberikan anak-anaknya ayah ideologis; menceritakan kisah-kisah inspiratif para bapak  yang selanjutnya menjadi guru kehidupan kami. Kalaupun menjadi ibu tunggal karena bercerai, jangan menjelekkan ayah si anak.

F: Bagaimana membagi waktu antara karir dan keluarga?

SPW: Apakah harus dibagi? Keduanya terlihat harus seimbang karena kita memisahkannya. Padahal, semuanya menjadi satu kesatuan. Karena Allah sudah menjamin rezeki hambaNya, maka jika ibu mengurangi ketaatan dan mengabaikan amanahNya demi mengejar hal yang sudah ditentukan Allah, itu yang salah.

Orangtua dapat membicarakan dengan anak, mimpi apa yang ingin diraih keluarga. Dan jika ayah atau ibu tidak keluar rumah, maka mimpi itu tidak dapat terwujud. Dengan begitu, anak-anak akan mendoakan karena tahu orangtua mereka pergi demi mengejar mimpi mereka. Mimpi bersama. Bukan mengejar ambisi pribadi dalam karir. Jika kelak mimpi itu sudah berhasil diwujudkan, kita bisa kembali bertanya pada anak, apakah mereka masih mengizinkan orangtuanya sibuk bekerja seperti biasanya, sedangkan impian mereka telah menjelma nyata.

F: Bagaimana dengan ibu dari anak berkebutuhan khusus (ABK)?

SPW:  Bagi ibu dari anak special needs, tugasnya adalah mengantarkan anak menjumpai peran peradabannya. ABK pasti punya peran dalam kehidupan, tinggal ibu yang harus bisa menemukan apa peran anak, apa maksud Allah dengan anak ini. Bukan lantas kita berkeras mengubah dan membentuknya. Semua anak, apapun kondisi mereka, harus diperlakukan secara spesial. Setiap anak punya indikator keberhasilan masing-masing.

F: Bagaimana meningkatkan kepercayaan diri ibu yang merasa hanya ibu ‘rata-rata’?

SPW: Bentuklah “A” home team. Membuat isi rumah berkualitas A. Harus ada indikator sukses dalam keluarga. Saat ini, banyak keluarga tidak tahu indikator sukses mereka dan memilih meniru indikator kesuksesan keluarga lain. Harus jelas, istri yang sukses menurut suami dan anak yang bagaimana. Dengan demikian, keluarga kita menjadi grade A tanpa harus membandingkan dengan orang lain. Setiap orang dilahirkan dengan passion dan talenta. Ibu bukan superwoman yang harus mampu melakukan semua hal dengan sempurna.




Memaknai Hakikat Perempuan Hebat dari Sosok Mooryati Soedibyo: Empu Jamu Indonesia hingga Menjadi Wakil Rakyat

Sebelumnya

Mooryati Soedibyo Tutup Usia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women