KOMENTAR

BISNISNYA porak-poranda bertepatan dengan anak-anaknya masih berkuliah di luar negeri. Sang suami pening luar biasa, sedangkan istrinya tenang-tenang saja. Orang-orang bertanya, “Apa kesibukan suamimu?” Sang istri menjawab, “Sibuk bolak-balik.” Orang bertanya lagi, “Kemana?” Istrinya menjawab, “Sibuk bolak-balik badan di rumah.” Orang-orang tertawa, sementara suami bermuram durja. Suami sudah meminta istrinya ikut berjuang membela ekonomi rumah tangga, selain demi memenuhi kebutuhan nafkah juga untuk menalangi beban utang yang selangit.

Lagi-lagi sang istri tenang-tenang saja atau sesekali tertawa. Pasalnya, sejak dari awal menikah dia selalu bergantung pada suami, bahkan bepergian saja selalu didampingi suami. Sang istri nyaris tak bisa apa-apa, kecuali kemampuannya bersolek yang menakjubkan. Kini, tiba-tiba saja suami memintanya mandiri. Istrinya memandang itu sebagai lelucon.

Dulu ia santai saja punya istri yang amat bergantung pada suami. Dia malah merasa menjadi lelaki sejati. Istrinya juga amat penurut. Segala sesuatunya melalui suami, bahkan membuat keputusan saja istri meminta ketok palu suami tercinta. Tatkala prahara datang menghantam, rumah tangga ikut roboh bersama suami yang tumbang tak berdaya, sementara istri tidak bisa berbuat apa-apa.

Lain pula ceritanya dengan sosok suami lain yang justru merasa harga dirinya terhempas. Istrinya sangat mandiri, bahkan tidak secuil pun uangnya mengalir untuk nafkah rumah tangga. Istrinya jago mencari duit. Sang suami juga tidak pernah pusing, karena istrinya jago menyelesaikan berbagai persoalan. Dia pun tidak pernah terganggu, sebab segala sesuatunya sudah dibereskan oleh istri. Dia tak menyangka istrinya bagaikan wonder woman. Tapi mengapa pernikahannya menjadi hambar dan malah berada di gerbang perpisahan?

Kemandirian yang Mengancam

Nabi Muhamamad pernah punya istri yang cukup mandiri, utamanya dalam keuangan, bernama Zainab binti Jahsy. Dia seorang perajin yang menghasilkan lumayan banyak uang, sehingga dia pula yang paling gemar bersedekah. Bukan hanya sang suami, Aisyah yang notabene juga istri Rasulullah Saw. ikut memuji, “Aku belum pernah sama sekali melihat wanita yang lebih baik dalam soal agama dibandingkan Zainab binti Jahsy, paling takwa kepada Allah, paling benar dalam berbicara, paling suka menyambung silaturahmi, serta paling suka mengorbankan dirinya untuk pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.” (Abdul Halim Abu Syuqqah pada buku Kebebasan Wanita.)

Rasul tidak memandang kemandirian Zainab akan mengancam kehormatan dirinya sebagai suami. Kemandirian itu sesuatu yang positif, dan akan bermakna besar jika berada di tangan orang yang berkarakter mulia.

Ada lagi yang supermandiri, Khadijah yang bukan saja mandiri keuangan tapi menjadi penyokong utama perjuangan dakwah Rasulullah. Khadijah akan membuat para pria keder melihat kematangan dan kemandirian dirinya, tetapi bersama Rasulullah dia menjadi patner hebat. Perempuan-perempuan mandiri di sekitarnya tidak membuat Rasulullah gusar, karena beliau adalah suami yang mampu mengelola dengan baik sisi kemandirian istrinya.

 

Mempertanyakan Ketergantungan

Ada kisah, taarufnya kandas. Namun lelaki itu tenang-tenang saja. Dia malah semakin banyak mengumbar senyum. Orang-orang mengecam, bagaimana bisa dia melepaskan seorang gadis belia nan jelita, dan manja itu. Mereka membayangkan betapa indahnya punya istri manja dan amat bergantung pada suami. Lelaki itu berterus-terang bahwa si gadis itu tidak ada cacatnya, tetapi dirinya akan menjalani hidup yang penuh perjuangan, jadi dia butuh istri yang mandiri.

Beberapa suami menjelaskan sejumlah efek positif memiliki istri yang selalu bergantung pada suami, efek terbesarnya adalah sisi psikologis suami dimana ia merasa menjadi lelaki sejati. Dia bagaikan raja diraja. Betapa tidak, ada puteri jelita yang setia di rumah, yang selalu membutuhkannya, yang senantiasa memuja dirinya. Suami pun tidak akan pernah dilangkahi karena istrinya tidak akan membuat keputusan apapun tanpa restunya.

Tidak ada salahnya seorang pria menikahi wanita yang suka bergantung pada suaminya. Namun ada hal-hal yang patut menjadi pertimbangan. Apabila seorang pria sukanya dengan istri yang tergantung pada suami, maka sadarilah bahwa ketergantungan itu juga berisiko, apalagi sampai bergantung kepada manusia, meski pun itu suami sendiri.

Ketergantungan akan menimbulkan kelemahan jiwa dan merembes pada lemahnya jiwa anak-anak karena mereka melihat ibunya yang rapuh. Okelah, sekiranya perempuan itu beruntung mendapatkan suami yang baik sekali dan mampu memenuhi segala hajat istrinya, tetapi kita tidak tahu bagaimana nanti kejadian takdir. Di masa depan boleh jadi suami kehilangan kemampuan untuk terus menjadi payung, sementara istri yang biasanya tergantung belum siap menjadi sosok yang mandiri. Sebesar apapun kecintaan suami, maka tetap saja dia berkewajiban mendidik istrinya menjadi sosok yang mandiri. Karena suami yang membiarkan istri yang suka bergantung, sama saja menyiapkan bom waktu.

Mari kembali ke pertanyaan besar, apakah memilih istri yang suka bergantung atau yang mandiri? Ketika posisinya masih dalam posisi memilih, ya kembalikan pertanyaan itu secara jujur pada diri sendiri. Setiap orang visi hidupnya berbeda-beda. Apabila merasa cocok dengan yang mandiri, dia berhak menjatuhkan pilihan seperti itu. Namun jika sukanya dengan istri yang ketergantungan, dia juga berhak menentukan pilihannya. Hanya saja dari dua macam pilihan itu, ada plus minus yang menjadi pertimbangan.

Pilih Mana?

Apabila sudah resmi menjadi suami istri, maka tidak ada lagi kata tidak cocok, karena setiap takdir itu pasti baik. Pernikahan itu telah menjadi takdir, maka kewajiban kita mensyukurinya. Bagaimana sekiranya suami merasa salah pilih istri, maunya yang mandiri tak tahunya menikah dengan wanita yang tergantung total pada suaminya. Tidak, tidak ada yang keliru dalam hal itu. Salah satunya hikmah pernikahan adalah mengajarkan kemandirian. Dengan sendirinya, setiap orang berproses secara bertahap menjadi pribadi yang mandiri. Suami tidak boleh memaksa atau menyulap istri menjadi sosok mandiri hanya dalam tempo semalam. Hormatilah proses yang dijalani setiap orang, karena proses itu membuat pembelajaran menjadi amat mendalam.

Sekiranya suami mengeluh terlanjur menikah dengan istri yang dipandang amat mandiri, maka sadarilah wonder woman hanya ada di film. Sejatinya Fatimah sosok yang mandiri, cocoklah dapat suami Ali bin Abi Thalib yang merupakan pejuang di jalan Allah. Sekalipun sosok mandiri, ada masanya Fatimah menjadi sosok yang butuh uluran suami. Makanya Rasulullah dalam hadis-hadisnya sering melihat menantu laki-lakinya terjun dalam pekerjaan rumah tanga.

Kita tak dalam posisi menghakimi, lagi pula tidak ada yang dapat menukar takdir. Setiap pilihan ada efek positif negatifnya. Adanya dialog keterbukaan suami istri akan melapangkan suasana hati dalam mencari jalan tengah antara kemandirian atau ketergantungan. Dalam dua kondisi ini, suami istri dapat semakin merekatkan hati untuk mencari keseimbangan yang terindah, yang tak menyakiti salah satu pihak pun.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur