Tiara Savitri
Tiara Savitri
KOMENTAR

PENULIS buku Aku & Lupus, Tiara Savitri, tidak pernah bosan membagikan kisah hidupnya agar menjadi hikmah dan bermanfaat bagi orang lain, terutama menjadi motiviasi bagi para penyintas Lupus. Tiara juga menjadi contoh bagaimana kondisinya sebagai odapus (orang dengan Lupus) justru bisa bersahabat dengan Lupus dan selalu bersyukur atas setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Tidak pernah terpancar raut wajah yang menampakkan kesakitan. Yang orang lihat adalah sosok ceria, optimis, energik, dan penuh senyum.

Yang menakjubkan, Tiara kini ‘ketagihan’ naik gunung. Aktivitas yang menurut banyak orang tidak dianjurkan bagi odapus karena khawatir kambuh sewaktu-waktu. Pada Mei 2014, ia bahkan mendaki Himalaya bersama sang putra, Kemal Syakurnanda Hardison. Namun itulah Tiara. Ia ingin membalikkan paradigma bahwa odapus tidak bisa menikmati alam, matahari, dan berbagai petualangan sik.

Hadirnya Lupus

Tiara terdiagnosis Lupus pada tahun 1987. Artinya, ia telah bersahabat dengan Lupus selama 30 tahun. Saat itu dokter yang menangani Lupus masih sangat minim. Tiara mengalami semua gejala Lupus bahkan beberapa organ sudah terkena. Hampir sembilan bulan dirawat di RS AL Mintoharjo, keluarga sempat berpikir untuk membawanya berobat ke luar negeri karena tak kunjung sembuh. Dokter hanya mengobati apa yang dirasa sakit tapi tidak menyembuhkan.

Barulah setelah dipindah ke RSCM, Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM mengatakan bahwa penyakit Tiara adalah Lupus karena sudah memenuhi semua gejala dan kriteria serta ditunjang hasil laboratorium. Saat dirawat setengah bulan di RSCM, dokter memberi terapi dan intens diberi steroid dosis tinggi. Steroid adalah obat utama Lupus. Alhamdulillah, kondisinya berangsur membaik. Tiara pun pulang dan melanjutkan kuliah. “Tidak ada rasa takut sama sekali karena saat itu belum banyak informasi tentang Lupus,” kenang Tiara.

Bukti Kekuasan Allah

Setelah berhasil mendaki 11 gunung di Indonesia pada tahun 2012, Tiara bersama putra semata wayangnya Kemal, dan Vina (sesama odapus), mendaki Gunung Himalaya. Ia mengaku awalnya tidak punya target mencapai puncak. Tapi saat berhasil mencapai puncak, ia pun mulai jatuh cinta dengan mendaki. Ia merasa teramat kecil dan membuktikan bahwa Allah lah yang Maha Besar.

Tiara mengisahkan pengalaman pertama mendaki, yaitu di gunung Klabat. Ia sempat berbicara angkuh dengan mengatakan “Alhamdulillah, odapus bisa menaklukkan Klabat.” Ia diingatkan oleh sesama pendaki bahwa manusia tidak pernah bisa menaklukkan alam dan ciptaan Yang Kuasa. Ketika turun, mereka diterjang badai. Saat itulah Tiara belajar untuk menjadi lebih sabar, berpikir bijak, namun harus kuat melawan rasa takut.

Agustus 2018, Tiara berencana naik gunung Kilimanjaro di Afrika, bersama Kemal dan 4 orang yang bukan odapus. Kali ini bukan sekadar pendakian, tapi juga penelitian psikologis. Tentang dampak emosional mendaki gunung, juga terkait stres dan depresi yang dialami para pendaki.

Putra Tiara, Kemal Syakurnanda Hardison, didiagnosis Lupus saat berusia 12 tahun. Lupus menyerang jantungnya. Setelah terapi satu setengah tahun, Kemal sudah bisa hidup normal dan Lupusnya terkontrol. Saat ini, Kemal sedang menjalani kuliah Hukum Perdata di Universitas Nasional. Ia bercita-cita menjadi jaksa.

Suami Tiara, Julio Hardison, meninggal dunia pada tahun 2001. Saat itu, Kemal baru berusia satu setengah tahun. Setelah sempat bekerja, Tiara memutuskan memulai usaha. Bisnisnya berkembang seiring Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang juga kian bertumbuh. Dengan idealisme yang ia pegang, Tiara kemudian memutuskan fokus pada YLI.

YLI & Perjuangan Bagi Odapus

Tiara mendirikan Yayasan Lupus Indonesia (YLI) pada 17 April 1998 dan saat ini terdata memiliki 17.000 anggota. YLI berlokasi di RS Kramat 128, Jakarta. YLI berperan untuk sosialisasi, pendampingan, support group, dan pembinaan. YLI juga bekerja sama dengan instansi farmasi untuk penyediaan obat- obatan Lupus, termasuk yang berharga khusus maupun gratis.

YLI berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan RI untuk mencari solusi bagi odapus di daerah yang sulit akses transportasinya untuk berobat. Mereka berhak mendapat pengobatan yang layak. Karena itu Tiara berharap dokter di Puskesmas diberi kewenangan menangani Lupus dan menjadi jembatan untuk berkoordinasi dengan dokter pernyakit dalam yang umumnya hanya ada di kota- kota besar.

Kini, jumlah odapus semakin bertambah. Masyarakat sudah makin aware dengan SALURI (Sadari Lupus Sendiri) hingga lebih cepat dikenali, didiagnosis, dan ditangani. Jadi Lupus tidak menjadi lebih berat dan menyerang organ lain. Lupus akan selalu ada tapi bisa ditekan dengan mengubah pola pikeridan menerapkan pola hidup sehat.

Saat ditanya sejauh mana peran pemerintah bagi odapus, Tiara menjelaskan bahwa bantuan pemerintah baru sebatas sosialisasi Saluri. Untuk obat, masih diperjuangkan agar obat-obatan yang dibutuhkan odapus bisa dijamin BPJS. Sebagai contoh, orang terkena penyakit ginjal akan di-cover obat-obatan ginjalnya. Tapi jika keluhan pada ginjal disebabkan Lupus, maka belum bisa ditalangi BPJS. Padahal Lupus adalah penyakit multiorgan yang tidak hanya menyerang satu organ tubuh. Bagi Tiara Savitri, jiwa, hati, dan pikiran tidak boleh kalah dari Lupus, walaupun raga boleh merasakan sakit. “Lupus bukan akhir segalanya. Kita harus hidup berkualitas dan produktif demi kebaikan diri sendiri dan orang lain,” pungkas Tiara.




Indonesia Siapkan Gender Budget sebagai Tindak Lanjut Agenda CSW-68 New York tentang Pemberdayaan Perempuan & Pengentasan Kemiskinan

Sebelumnya

Nuzul Quran Masjid Al Hidayah: Quran dan Ibu sebagai Petunjuk Awal dan Madrasah Pertama Anak

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women