Ilustrasi
Ilustrasi
KOMENTAR

KEHADIRAN Ramadhan terkadang menjadi agak hambar bagi sebagian kalangan ibu-ibu. Keluhannya nyaris sama, “Mau banyak ibadah, tapi pekerjaan rumah tangga malah bertambah-tambah.” Suami bisa itikaf penuh waktu, sedangkan istri makin lama berkutat di dapur. Suami khatam Alquran, istri khatam menerima keluhan seluruh anggota keluarganya. Semua pihak ingin Ramadhan menjadi amat bermakna, dan seringkali beban kerjanya dipikul sendirian di pundak sang istri.

Suami ingin saat sahur makanannya enak-enak. Alasannya, “Biar anak-anak semangat puasanya.” Atas niat baik itu, istri bangun lebih dahulu ketika yang lain masih mendengkur. Suami menyusul bangunnya dan langsung tenggelam dalam shalat Tahajud yang syahdu. Selanjutnya suami tilawah Alquran dalam alunan suara nan merdu. Sementara istri masih berkutat dengan alunan periuk kuali atau dentuman batu cobek.

Pekerjaan suami itu memang banyak, tetapi ada batasnya. Selesai jam kantor, suami sudah bisa istirahat. Sehabis dead line, suami telah mendapatkan waktu berleha-leha. Suami memang banyak pekerjaannya, tetapi selalu ada batas akhir. Sedangkan istri pekerjaannya hanya satu, yaitu mengurus rumah tangga. Hebatnya, satu pekerjaan ini harus dilakukan terus-menerus tanpa batas akhir. Tidak ada kan jam kerja bagi istri? Tidak ada kan deadline bagi urusan rumah tangga? Pekerjaan rumah tangga yang nonstop itu tidak berlaku hanya setahun dua tahun, melainkan sepanjang hayat. Selagi masih ada nafas, ibu rumah tangga terus bekerja tak kenal lelah.

Membela Keluarga

Jika kondisi di atas jadi perenungan, maka tidak akan ada suami yang tega berleha-leha tatkala istrinya banting tulang. Apalagi di bulan Ramadhan, dimana energi istrinya tersedot habis-habisan karena makin bertambahnya beban pekerjaan. Syukur-syukur suami mampu menyediakan asisten rumah tangga, sehingga istri masih bisa mencuri-curi waktu untuk rehat sejenak. Namun, bila kondisi ekonomi suaminya morat-marit, maka asisten rumah tangga terasa amat memberatkan keuangan. Muaranya, istri lagi yang memikul segala beban itu. Dan semakin berat bagi istri yang juga mesti ikut berjuang mencari nafkah.

Lantas, bagaimana pribadi Rasulullah sebagai suami? Kalau kita penasaran, para sahabatnya juga bertanya-tanya. Sehingga suatu hari Urwah bertanya pada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah ketika beliau bersamamu (di rumah)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”

Tidak cukup halaman ini menceritakan kesibukan Nabi Muhammad. Akan sulit sekali mencari sosok suami yang mampu menandingi beban sebesar yang dipikul Rasulullah. Namun beliau masih punya waktu mengerjakan urusan rumah tangga. Bahkan beliau menjahit pakaiannya sendiri, menambal terompah dan tidak pernah sungkan terjun dalam pekerjaan dapur. Bagi Rasulullah tidak ada pekerjaan wanita, sebab pada prinsipnya siapa yang banyak bekerja akan banyak pula pahalanya. Dari itulah, tangan suci beliau ikut belepotan mengurus rumah tangga.

Fatimah pernah memohon pada ayahanda agar disediakan pembantu. Permintaan itu akan sulit diajukan pada suami tercinta. Maklum, Ali bin Abi Thalib lebih sibuk berperang membela agama Allah. Wajar apabila kehidupan keluarganya menjadi sangat sederhana. Sesungguhnya puteri Rasulullah itu punya alasan kuat meminta pembantu. Fatimah memamerkan telapak tangannya yang retak-retak akibat kerja yang teramat keras.

Rasulullah mencium tangan puterinya tercinta yang telah hancur itu dan berkata, “Inilah tangan yang akan membawa pemiliknya ke surga.” Rasul tetap tidak memberikan pembantu. Namun beliau memberikan sesuatu yang luar biasa dan membuat puterinya menjadi bersemangat. Rasul mengajarkan kalimat-kalimat suci yang akan membuat pekerjaan mulia di rumah tangga terasa membahagiakan, yaitu subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar.

Pastinya Ali bin Abi Thalib bukanlah suami yang tak tahu diri. Seringkali kedapatan Ali sedang bekerja sama dengan Fatimah di dapur. Ia tidak membiarkan istrinya jungkir balik sendirian saja. Saat suami istri itu sibuk berkutat di dapur, tanpa disadari datanglah Rasulullah Saw. Sang ayah mertua terharu sekaligus bangga. Kemudian Nabi Muhammad Saw. ikut serta bergabung di dapur, membantu pekerjaan puteri dan menantunya tersebut. Beliau tidak pernah menyesali punya menantu Ali bin Abi Thalib yang membuat tangan lembut putrinya menjadi kasar bahkan pecah-pecah. Mereka sama-sama bahagia menjalani hidup, sebab tidak satu pun amalan ikhlas yang luput dari ganjaran pahala.

Berbagi Pahala

Segala pembahasan ini, akan menjadi indah tatkala bermuara pada suatu kesadaran bahwa bekerja adalah ibadah. Ya, tidak ada pekerjaan yang kecil, karena setiap yang diniatkan karena Allah akan bisa berujung surga. Dengan menancapkan keyakinan ini, suami maupun istri akan saling berlomba mengerjakan yang terbaik untuk rumah tangganya. Tidak akan ada yang merasa terbebani. Kesibukan istri dalam menata pekerjaan rumah tangga di bulan suci bukanlah sesuatu yang sia-sia. Malahan itu termasuk bernilai ibadah, yang belum tentu mampu ditunaikan oleh setiap orang.

Akhirnya, suami dan juga anak-anak hendaklah meneladani akhlak Rasulullah Saw. bahwa peluang mendapatkan pahala memang perlu dibagi-bagi. Jangan hanya istri saja mendulang banyak pahala dari pekerjaan rumah tangga. Suami dan anak-anak perlu mencicipi serunya mengerjakan hal-hal yang selama ini dilimpahkan kepada sosok istri. Selain ikut mendulang pahala, suami dan anak-anak akan tumbuh rasa cintanya menyadari sosok istrinya ternyata perempuan luar biasa yang gagah perkasa membela rumah tangga.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur