Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KEMESRAAN sejatinya menghasilkan sinergi, simbiosis mutualisme. Bukan ajang aji mumpung. Bukan pula mengeruk keuntungan demi kepentingan satu pihak lalu membiarkan pihak lain tercoreng nama baiknya.

Saat ini, geliat perempuan di ranah politik mulai terlihat. Meski demikian, kuantitas dan kualitasnya masih  menjadi perdebatan. Padahal, UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Darat Daerah yang mengatur Pemilu 2009 sudah menegaskan angka 30 persen keterwakilan perempuan di partai politik.

Menyimak data Inter-Parliementary Union (IPU) ASEAN, Indonesia menduduki peringkat keenam dalam jumlah keterwakilan perempuan di gedung parlemen, yaitu sebesar hanya 19,8 persen. Bisa dibilang, dari 130,3 juta penduduk perempuan saat ini atau 49,75 persen dari total populasi rakyat Indonesia, hanya segelintir yang tertarik dan menekuni karier politik.

Parpol besar seperti Golkar bahkan mengaku kesulitan mencari kader perempuan untuk naik ke panggung politik. Banyak kader yang enggan maju mengingat kegagalan mereka di tahun 2014. Padahal kader perempuan dinilai setia kepada partai. Namun memang, kepercayaan publik pada politisi perempuan belum setinggi terhadap laki-laki. Tak heran jika melirik jajaran elit partai, hanya ada tiga nama perempuan yang menduduki jabatan Ketua Umum. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan), Grace Natalie (PSI), dan Neneng A. Tuty (Berkarya).

Mengapa begitu sulit menemukan perempuan yang mau berpolitik? Bukankah sudah banyak perempuan berpendidikan tinggi, berdaya secara ekonomi, dan peduli kepentingan sosial?

Terlepas dari masih kurangnya angka partisipasi perempuan dalam politik, sejarah mencatat Indonesia adalah negara yang pernah dipimpin presiden perempuan. Tapi tak bisa ditampik, orang akan berpikir bahwa karier politik Megawati adalah a gift, jejak yang diturunkan sang ayah. Demikian juga dengan sosok Meutia Hatta berlatar 'serupa' dengan Mega. Di daerah bahkan lebih banyak ditemukan kader perempuan yang menjadi penerus dinasti politik keluarga.

Wajah politik yang identik dengan korupsi, suap menyuap, pencitraan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan memang berandang menakutkan. Kesan politik yang 'kotor' dan kejam, tak bisa dipungkiri. Padahal, dengan pendidikan politik yang benar, kita dapat melihat bahwa politik adalah jalan mulia yang membawa masyarakat menjadi lebih bermartabat, maju, dan sejahtera. Program-program yang diusung para calon pemimpin daerah dan calon wakil rakyat di DPR, jika terealisasi dengan baik, pasti berdampak baik bagi rakyat.

Menurut PBB, angka minimum 30 persen kuota perempuan itu sudah memungkinkan terjadinya perubahan dan berdampak pada peningkatan mutu UU yang disahkan. Dengan kelebihan perempuan berupa intuisi dan sifat mendetail,  analisis dan RUU yang disusun diharapkan dapat bersifat multidimensi dan kaya ‘rasa’. Setiap keputusan yang diambil selalu melibatkan kepekaan sosial, keberpihakan terhadap perempuan yang selama ini dianggap warga kelas dua, dan kepedulian terhadap generasi penerus. Ini artinya,  UU yang dihasilkan akan menjadi ramah rakyat.

Merenungi Kecakapan Perempuan

Seperti apa sesungguhnya pendidikan politik yang harus diberikan untuk perempuan Indonesia? Pendidikan politik ini bisa dibedakan menjadi dua sisi. Pertama, pendidikan politik bagi perempuan sebagai pemilih. Jumlah suara perempuan yang signifikan, tentu dapat menjadi bekal untuk menjadikan seorang calon terpilih. Karena itu perempuan harus melek politik, dalam hal mengetahui rekam jejak calon pemimpin, mengetahui usulan program kerja yang dikampanyekan, dan prestasi yang pernah dicapai calon dalam berbagai bidang. Dengan demikian, perempuan pemilih akan masuk ke TPS dengan pengetahuan yang cukup tentang calon yang akan ia pilih. Jadi, alasan memilih bukan sekadar karena si A berwajah tampan, si B yang kaya raya, si C yang di masa jaya dulu adalah artis idolanya, atau si D yang merupakan kerabat atasannya di kantor.

Kedua, barulah pendidikan politik bagi perempuan yang akan tampil sebagai calon pemimpin daerah maupun calon legislatif. Praktik yang biasa terjadi, parpol mengamati sepak terjang seorang perempuan yang telah berkarya dan berprestasi di bidangnya. Kemudian mereka mengajak si perempuan untuk bergabung dengan mempromosikan visi dan misi parpol. Jalan kedua adalah perempuan yang memilih sendiri untuk bergabung dengan satu parpol. Ada yang merintis karier sejak dari kader pemula, ada pula yang karena telah memiliki nama besar, langsung masuk jajaran elit partai. Para kader perempuan ini kemudian akan dididik oleh partai. Mereka dicecoki pengetahuan umum maupun tips dan trik seputar dunia politik.

Tak banyak masyarakat awam tahu bahwa Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri ternyata memiliki program pendidikan politik. Tidak hanya untuk perempuan, tapi untuk seluruh anak bangsa termasuk para santri dan mahasiswa. Kemendagri bekerja sama dengan LSM yang fokus pada perempuan.

Perempuan, Oh Perempuan

Menjadi wakil rakyat, pemimpin daerah, atau istri kepala pemerintahan, tidak boleh membuat perempuan menepuk dada. Bersyukur boleh, tapi lebih karena diberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup orang banyak. Bukan karena akhirnya bisa berkuasa, bisa ‘membayar’ mahar politik, bisa membangun ‘kerajaan’, atau meneruskan dinasti kepemimpinan. Yang terjadi kini—tak berbeda dengan para politisi laki—adalah bersyukur karena faktor-faktor kekuasaan dan ekonomi. Padahal, ini seharusnya menjadi momentum bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri sebaik-baiknya demi maslahat rakyat.

Maka kemesraan perempuan dan politik memang seharusnya dibangun atas dasar simbiosis mutualisme. Politik harus diuntungkan dengan kehadiran sosok perempuan yang cerdas dan berintegritas. Sebaliknya, perempuan harus diuntungkan dengan politik yang ia jalankan berdasar nurani. Dengan demikian, nama politik akan menjadi lebih baik sementara nama si perempuan akan harum seiring keberhasilannya mensejahterakan masyarakat. Adakah yang lebih baik dari kemesraan ini?

Sayangnya, satu demi satu pemimpin daerah perempuan diciduk KPK. Miris rasanya, menyaksikan seorang ibu harus meringkuk di balik sel, hanya karena ratusan atau miliaran Rupiah. Entah benar-benar masuk ke kantong pribadi, atau hanya akibat menandatangani dokumen untuk mengucurkan dana ke pihak lain. Tapi, inilah bukti bahwa perempuan belum mampu memaksimalkan kelebihannya berupa kepekaan dan sikap mendetail yang tidak dimiliki laki-laki pada umumnya. Terlebih lagi, perempuan punya pengaruh sangat kuat, secara psikologis, untuk dapat mempengaruhi orang lain.

Mengapa perempuan mengorbankan nuraninya? Apakah harta dan kekuasaan telah membutakan matanya? Atau andai ia seorang istri kepala pemerintahan, mengapa ia tak bisa tegas mengultimatum suaminya untuk istiqamah di jalan yang diridhai Allah?

Kembali lagi pada nurani. Apa visi dan misinya untuk berkiprah di politik. Bagaimana keteguhannya menjaga hati dan pikiran agar tidak didistorsi kepentingan segelintir orang. Bagaimana ia cerdas mencari win-win solution agar hubungan antara para stakeholder, regulator, dan legislator tidak hanya seputar pemenangan proyek.

Dalam meneguhkan niat berpolitiknya demi kepentingan rakyat, maka perempuan harus memiliki “tim sukses” yang harus mampu menjadi pengkritik saat ia mulai keluar dari jalur yang benar. Tim tersebut idealnya adalah keluarga. Namun bukan tidak mungkin melibatkan seorang ustaz/ustazah yang tak lelah memberi pencerahan ruhani untuk selalu mengingat azab Allah yang pedih bagi pemimpin yang zalim.

Cerdas dan berintegritas adalah dua sikap yang tidak boleh tidak dimiliki bagi perempuan yang mengencani politik. Tanpa kecerdasan, ia akan sulit untuk melakukan manuver politik yang santun. Ia akan sulit mencari celah untuk memasukkan kepentingan rakyat di tengah gempuran pihak-pihak yang ingin keinginan mereka dipenuhi. Ia akan sulit melobi rekan-rekan di parlemen untuk menggolkan RUU yang berpihak pada rakyat kecil. Ia akan sulit menaklukkan suaminya yang seorang kepala pemerintahan untuk membangun area serapan air daripada menandatangani izin membangun mal.

Pun, tanpa integritas, perempuan akan dipandang sebelah mata. Masyarakat yang kini semakin pintar, dapat melihat mana pemimpin yang tulus dan bekerja keras, mana yang tidak. Mana yang berani melangkah jauh ke depan (visioner) mana yang membangun asal jadi. Manakala yang dibangun hanya imej secara lahiriah, dengan perawatan wajah yang menghabiskan puluhan juta Rupiah, pakaian jutaan Rupiah, serta tas dan stiletto bermerek internasional yang harganya selangit, maka tanpa disadari, perempuan itu memilih masuk halaman fesyen dengan tajuk “Pemimpin Paling Fashionable” daripada masuk kolom politik yang menceritakan kerja keras dan sikap tegasnya.

Jika perempuan mengerahkan segenap intelektualitas dan ketangguhannya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, ia pasti mampu melahirkan kebaikan dalam politik. Ia akan mampu menghapus keraguan orang terhadap komitmen, kredibilitas, dan kompetensinya sebagai legislator maupun regulator. Perempuan akan mampu mengatakan “tidak” pada ajakan memperkaya diri dan ajakan ‘menutup mata’ terhadap etika berpolitik bersih. Itu semua penting, agar kemesraan ini janganlah cepat berlalu.




Masnu’ah, Pahlawan Ketidakadilan Gender di Pesisir Demak

Sebelumnya

Bangkit dari Titik Terendah, Sri Mulyani Ingat Pesan Ibu untuk Berpegang Teguh pada 3 Hal Ini

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women